Kali ini saya akan memposting aartikel tugas kuliah semester 2 pada mata kuliah struktur masyarakat Jawanmengenai perubahan yang ada di masyarakat Jawa Yuk, langsung saja membaca dan memahami isi artkel dibawah ini Jawa merupakan sebuah pulau yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat tinggi, sehingga tak heran jika berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia sangat antusias untuk datang ke pulau jawa dengan tujuan dapat ikut menikmati hasil pertanian dari tanah yang sangat subur atau sering disebut oleh orang jawa dengan sebuah istilah “gemah ripah loh jinawi”. Di pulau Jawa berbagai jenis tanaman dan tumbuhan dapat ditanam dan mudah untuk ditemukan, hal ini ditentukan oleh tekstur tanah dipulau jawa yang tergolong sangat subur sehingga kekayaan alam yang dimiliki pulau Jawa sangat menarik perhatian bangsa penjajah untuk berusaha ikut menikmati bahkan mereka berkeinginan untuk memilki dan memonopoli semua hasil kekayaan alam yang ada di pulau Jawa. Salah satu bangsa yang ingin menjajah hasil bumi orang jawa yaitu bangsa eropa, kedatangan bangsa eropa di Jawa menyebabkan bertemunya dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan Timur dan Barat yang mempunyai struktur sosial berlainan. Akibat pertemuan dua bangsa itu kebudayaan terkena pengaruh kebudayaan Barat yang sangat besar. Bangsa Eropa atau yang sering disebut dengan Kompeni Hindia Timur mula-mula hanya ingin menguasai perdagangan hasil bumi dan bukan politik. Namun dalam upaya mengamankan kepentingan ekonominya, kompeni terlibat dalam kesukaran dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Maka dari itu kompeni mampu menguasai daerah-daerah di sepanjang pesisir utara pulau jawa. Dengan demikian sistem pemerintahan kerajaan sepenuhnya berada ditangan kompeni, yang kemudian bupati tidak lagi dipilih secara langsung oleh raja tapi dipilih oleh kompeni dan penyerahan hasil bumi yang wajib dapat ditagih langsung dari bupati. Penyerahan hasil bumi yang wajib dilaksanakan tersebut diberlakukan secara sistem foedal. Akibat dari adanya sistem ini adalah kesejahteraan rakyat yang rendah. Oleh karena itu, masyarakat dipulau jawa mengalami perubahan-perubahan sosial yang merupakan pengaruh dari adanya pertemuan budaya barat dan timur yang terjadi pada saat itu hingga saat ini pengaruh budaya barat terhadap masyarakat jawa semakin tinggi. Bangsa kompeni menerapkan berbagai monopoli pertanian terhadap masyarakat jawa antara lain “tata bumi” pada saat mas pemerintahan Raffles dari Inggris. Kemudian dalam pemerintahan Van Den Bosch ia menerapkan sistem “tanam paksa” yang menghendaki agar penduduk jawa tetap menjadi petani. Sistem tanam paksa telah membawa pengaruh modernisasi yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan sosial terhadap masyarakat adanya sistem monopoli yang diterapkan oleh bangsa kompeni tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sosial didalam masyarakat jawa diantaranya yaitu munculnya diferensiasi sosial dan sistem kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi adalah munculnya 1 golongan petani kaya-pemilik tanah lapisan atas, yang berhak mendapatkan tenaga kerja cuma-cuma; 2 petani bebas yang diharuskan kerja wajib; dan 3 golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah. Diferensiasi yang terjadi ini mengakibatkan pola atau sistem ekonomi pertanian masyarakat Jawa juga berubah. Dalam relasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara kaum pemilik tanah modal dengan tenaga kerja buruh tani. Para petani dengan modal tanah yang dimiliki membutuhkan tenaga kerja untuk menggarap lahannya. Sedangkan, para petani buruh tergantung pada para pemilik tanah untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual tenaga kerjanya. Dengan demikian Jawa mulai memasuki era kapitalisme. Dinamika khas dari kapitalisme adalah persaingan dan perolehan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa mengawali munculnya sistem kapitalisme pertanian yang ada di Jawa. Diferensiasi sosial semakin lebih besar ketika dilaksanakannya sistem tanam paksa. Ketentuan dalam sistem tanam paksa membuat posisi pejabat pedesaan semakin kuat posisinya. Kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar. Seperti diketahui para kepala desa maupun anggota pemerintahan desa lainnya mendapatkan tanah bengkok yang luas dan subur dan dibebaskan dari kerja rodi. Pengertian Perubahan Sosial dikemukakan oleh Gillin dan Gillin yang mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat Soekanto, 2006263. Dari pengertian perubahan sosial yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin ini menunjuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, yang berarti dalam penjabaran kali ini aspek sosial tersebut yang menyebabkan perubahan kelas sosial didalam bidang pertanian masyarakat jawa. Perubahan sosial adalah suatu pergeseran dalam ciri kebudayaan dan masyarakat. Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Perubahan sosial pada masa tertentu juga merupakan pengaruh dari peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun atau zaman sebelumnya. Di Jawa sebenarnya yang terjadi adalah proses evolusi pertanian dengan ditandainya diferensiasi sosial yang terjadi. Hal ini nampak dalam pola perekonomian masyarakat yang tradisional-homogen ke bentuk kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi di Jawa juga menjadi penanda adanya perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Modernisasi yang terjadi di Jawa tentu tak lepas dari proses penemuan teknologi pertanian yang membuat proses produksi makin efisien. Modernisasi pertanian di Jawa yang ditampakkan dalam program revolusi hijau, membawa pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat bagi petani yang memiliki banyak tanah karena sasaran dari moderninasi hanya petani kaya yang memiliki tanah. Hal ini semakin memperbesar terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa. Selain itu penciptaan sosial, dalam hal ini kapitalisme, juga terjadi di Jawa. Kapitalisme membuat pola dan sistem pertanian berubah dari sistem tradisional-homogen kebersamaan sosial dan ekonomi ke sistem pemilikan tanah secara pribadi yang memunculkan kelompok golongan petani atas dan proletar petani tak bertanah. Selain membahas perubahan kelas sosial dalam bidang kepemilikan tanah setelah ini penulis juga akan membahas perubahan sosial dalam aspek adat dan sopan santun yang tergambarkan pada penggunaan bahasa jawa dalam masyarakat sopan santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Adat ini berhubungan dengan etika dan tatakrama Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering didengar dan digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan pengguna bahasa Jawa tersebut. Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa yang tertinggi salah satunya adalah bahasa Jawa Kromo Inggil. Tingkatan ini biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, misalnya seorang anak ke orang tuanya. Bahasa Jawa Kromo Inggil digunakan dengan tujuan untuk menghormati orang yang lebih tua. Namun penggunaan bahasa jawa khususnya bahasa krama inggil telah mengalami perubahan dari tuntutan etika masyarakat jawa, pada sat ini telah banyak ditemukan anak muda yang berkomunikasi tidak mengguanakan bahasa jawa krama inggil dengan orang yang usianya lebih tua. Bahkan pada saat ini jarang sekali anak-anak yang berkomunikasi dengan orang tua mereka menggunakan bahasa krama inggil, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut karena adanya pergeseran nilai yang diajarkan orang tua terhadap anak tersebut. Para orang tua jawa jaman sekarang sudah jarang yang menanamkan nilai adat kesopanan yang sepantasnya dimiliki oleh orang jawa yang penggunaan bahasa krama inggil diterapkan dalam percakapan sehari-hari antara seorang anak dengan orang tua, sehingga nilai tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki anak tersebut ketika berkomunikasi dengan orang yang memiliki usia lebih tua. Selain itu faktor yang mempengaruhi yaitu adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat yang membawa dampak buruk terhadap anak-anak jaman sekarang yang belum mampu memfilter berbagai informasi yang seharusnya ditiru dan mana yang tidak pantas untuk ditiru. Dalam perubahan sosial yang berkaitan dengan sopan santun khususnya penggunaan bahasa tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan formal yang saat ini sebagian besar lembaga pendidikan formal dipulau Jawa telah menerapkan penggunaan bahasa nasional bahkan ada beberapa lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan bahasa internasional yaitu bahasa inggris sebagai bahasa pengantar mereka didalam media pembelajaran. Lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan penggunaan bahasa nasional maupun internasional tersebut biasanya kemudian mengenyampingkan atau bahkan melupakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Jawa. Saat ini sudah banyak ditemukan lembaga pendidikan yang menghilangkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa untuk menjadi mata pelajaran yang seharusnya dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Apalagi pada saat ini adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan para siswa untuk mempelajari bahasa internasional agar nantinya para pelajar tersebut dapat bersaing didalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean atau yang sering kita dengar dengan sebutan MEA. Hal tersebut tentunya akan mendesak berkurangnya penggunaan dan pengajaran bahasa Jawa didalam lingkungan pendidikan formal. Sehingga masyarakat jawa pada saat ini sudah jarang yang menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa yang sesuai didalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan Sosial dalam masyarakat Jawa yang selanjutnya adalah adanya perubahan Pola perilaku dan pola pikir yang sudah memiliki perubahan yang cukup signifikan antara pola pikir dan pola perilaku yang dimiliki masyarakat Jawa dahulu dengan masyarakat Jawa saat ini. Faktor yang paling berpengaruh dengan adanya perubahan ini adalah faktor teknologi dan masuknya budaya asing mampu merubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Jawa khususnya bagi para remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Mereka cenderung akan mengikuti berbagai trend yang sedang berkembang tanpa berpikir dampak negatif yang diperoleh dari adanya trend gaya hidup baru tersebut. Anak remaja sekarang memilki pola pikir dan pola perilaku kalau tidak mengikuti mode sekarang adalah remaja kuno, namun pemikiran mereka dan kelakuannya tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan pola pikir dan perilaku seperti ini sering kita temukan dalam kehidupan remaja yang tinggal didaerah perkotaan atau lebih tepatnya kota metropolitan. Karena pada kota metropolitan memiliki tingkat keberagaman masyarakat atau heterogenitas yang sangat tinggi. Mereka berasal dari berbagai kebudayaan yang berbeda dan pastinya telah memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri dan telah menjadi pola pikir dan perilaku mereka. Namun kebudayaan tersebut nantinya juga akan mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk meniru pola pikir dan perilaku yang menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa merupakan trend gaya hidup yang terbaru. Sehingga pola pikir dan perilaku tentang trend gaya hidup akan berkembang sangat cepat mempengaruhi didalam kehidupan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan khususunya masyarakat yang tinggaldi kota metropolitan. Kesimpulan Dari beberapa aspek yang saya ambil contoh untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat jawa tersebut,dapat disimpulkan bahwa Perubahan Sosial adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang berbeda yang menghasilkan pola kehidupan yang kurang serasi dan kurang seimbang. Suatu proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat khususnya masyarakat jawa terdapat berbagai faktor yang mendorong jalannya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain Kontak dengan kebudayaan lain. Sistem Pendidikan Formal yang maju Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang Penduduk yang heterogen Sistem terbuka yang memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. kemajuan IPTEK DAFTAR PUSTAKA Sosrodihardjo Soedjito. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta Bhratara Karya Aksara Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Satu Pengantar. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
PELAKSANAANPENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH ADAT MENJADI TANAH MILIK NEGARA A. Pelaksanaan Hak-Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat Di Daerah Ternate Berdasarkan penguasaannya maka menurut hukum adat di daerah kesultanan Ternate terdapat 5 jenis hak atas tanah yaitu: 1. Aha Kolano47 Aha berasal dari kata Kaha yang berarti tanah.
Land and property can be owned in different ways, and by more than one person. When you buy a property, make sure you determine the type of ownership that will be stated in the land ownership is when land and property is owned by one ownershipWhen property is owned by two or more people, the ownership will be eithertenants in commonjoint tenancyThere are important legal differences between these two types of in commonThis type of joint ownership is often used where the buyers of the property are known to each other and they have pooled their funds to purchase the in commonhold a share of the property based on each person’s contributioncan request a separate certificate of title for each share of the property. This allows for the owner to outline in their will who will inherit their property tenantsThis type of joint ownership is commonly used by couples. When one owner dies, their partner becomes the owner of their interest in a tenants havean equal interest in the whole of the propertyone certificate of title is issued. Get a copy of your titleRequesting a copy of a certificate of title is called a 'Register search' on the South Australian Integrated Land Information System SAILIS.A certificate of title is an official record of land ownership. You might need this certificate for things such as development applications or applying for council approval for an addition to your property. Page last updated 22 June 2022 Provided by Department for Trade and Investment URL Copyright statement is licensed under a Creative Commons Attribution Licence. © Copyright 2023
Pelapisansosial masyarakat pertanian di luar Jawa, seperti di pedalam Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Papua juga memiliki criteria berbeda dengan petani di Pulau Jawa. Hal inui disebabkan oleh kondisi lahan pertanian di luar Jawa yang masih luas. Akibatnya, maslah pemilikan tanah pun tidak terlalu dominant.
The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 159 Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870 Periode Awal Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa Masyrullahushomad1 Sudrajat1 1Afiliasi Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Jalan Colombo No. 1 Yogyakarta 55281, Indonesia Shomadsejarah2013 sudrajat Received 25 June 2019; Received in revised form 20 July 2019; Accepted 24 August 2019 Abstrak Perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut dengan fase perkebunan negara 1830-1870. Sedangkan, fase kedua adalah fase perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria. Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Kata KunciAgrarische Wet 1870, swasta, perkebunan. Abstract The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Keywords 1870 Agrarische Wet, private, plantation. PENDAHULUAN Pasca kerja paksa, sistem politik dan kebijakan pertanahan memasuki babak baru, yakni era ekonomi liberal berlaku di Hindia Belanda. Pada periode ini, perdebatan di parlemen Belanda tentang investasi perkebunan skala luas kemudian menghasilkan Regering Reglement Agrarische Wet 1870. Sistem monopoli pemerintah kolonial selama ini tentang tanah didesak oleh swasta agar pihak swasta diberi ruang untuk melakukan investasi di Hindia Belanda. Hasilnya keluarlah Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria Salim, 2014 18-19. Sekilas, lahirnya Agrarische Wet 1870, seolah memberi kabar gembira kepada rakyat pribumi karena rakyat pribumi akan diberikan hak eigendom. Akan tetapi, Agrarische Wet 1870 hanyalah alasan untuk memuluskan jalan pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Keuntungan yang besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 160 hanya dinikmati oleh para pemodal asing, sementara rakyat pribumi hidupnya semakin merana Anggraini, 2016 45-46. Sejak diberlakukannya Agrarische Wet 1870, pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara Eropa lainnya mendapatkan jumlah keuntungan yang luar biasa dengan berlandaskan pada colonial super profit. Istilah ini mengacu pada kondisi akumulasi modal luar biasa dari investasi modal asing yang mendapatkan tenaga kerja dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Di samping itu, pihak pemodal tidak perlu menanggung beban pembangunan infrastruktur seperti fasilitas transportasi dan komunikasi. Semuanya dibiayai oleh pemerintah yang diambil dari pungutan pajak oleh pemerintah terhadap penduduk negeri jajahan Achdian, 200820. Pemberlakukan Agrarische Wet 1870 selama lebih dari 70 tahun 1870-1942, menjadi landasan legal-politis pemerintah kolonial Belanda dalam memfasilitasi perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa dengan hakerfpachtrecht selama 75 tahun Rachman, 2012 15. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan pasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Beberapa komoditi utama perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, kareta, kina, dan kelapa. Sedangkan, di luar Pulau Jawa adalah karet, kelapa sawit, dan tembakau merupakan produk utamanya khususnya di Sumatera. Dalam periode ini, komoditi gula mulai menggantikan kedudukan kopi sebagai primadona produk unggulan yang diproduksi di Pulau Jawa. Berdasarkan analisis tersebut, maka artikel ini akan membahas sejarah lahirnya Agrarische Wet 1870 dan hubungannya dengan swastanisasi perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. METODE Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap, yakni heuristik heuristik, kritik sumber verifikasi, interpretasi oufassung, dan historiografi darstellung Abdurrahman, 2011 104. Sumber-sumber dalam kajian ini menggunakan data-data sekunder yang relevan dengan objek pembahasan. Sumber sekunder adalah dokumen yang menguraikan atau membicarakan sumber primer. Katagori sumber sekunder adalah monografi, buku-buku pelajaran, hasil kongres, makalah, prasaran, dan lain-lain Marzuki, 2014 36. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa perpustakaan, google book, dan jurnal- HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 161 jurnal resmi yang bisa diakses di internet. PEMBAHASAN LAHIRNYA AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan di Indonesia telah hadir sejak era pendudukan kolonial Hindia Belanda. Keberadaan perkebunan kolonial tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Indonesia pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca 1870. Pada sistem yang pertama pemerintah lebih banyak menggunakan otoritasnya high authority untuk membeli berbagai komoditi yang diperlukan dan tidak jarang dengan cara-cara paksa. Selanjutnya, pada sistem perkebunan swasta “liberal” terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitan dengan pasar modalnya. Besarnya aliran investasi yang bebas dan luas menurut catatan Gordon telah menempatkan Belanda sebagai negara investor terbesar nomor 3 tiga di dunia yang sebagian besar investasinya ditanamkan di Hindia Belanda. Liberalisasi perkebunan ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan para pemilik modal perkebunan. Seperti yang dikatakan Pelzer bahwa karena ketergantungan pemerintah Belanda terhadap perkebunan sebagai sumber devisa utama. Menyebabkan Pemerintah Belanda terpaksa menyerah terhadap tuntutan pihak pemilik modal perkebunan Tim Riset Sistematis STPN, 2010 50. Upaya untuk melakukan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda sebenarnya telah berlangsung sejak masa pemerintahan Menteri Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun 1865, Menteri Jajahan Frans van de Putte seorang liberal mengajukan sebuah Rencana Undang-Undang RUU yang menyatakan bahwa 1. Gubernur Jenderal akan memberikan hal erfpacht hak guna usaha selama 99 tahun, 2 Hak milik pribumi akan diakui sebagai hak mutlak eigendom, dan 3 Tanah komunal dijadikan hak milik perorangan sebagai hak mutlak eigendom. Ternyata RUU ini ditolak oleh parleman bahkan ditentang keras oleh sesama golongan liberal sendiri dengan tokoh utamanya Thorbecke. Tidak hanya itu, Menteri Jajahan Frans van de Putte akhirnya dijatuhkan dari jabatannya karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menamkan modal di bidang pertanian di Hindia Belanda belum tercapai Wiradi, 2000 126-127. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 162 Setelah jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte dari tampuk jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Pada tahun 1866/1867, pemerintah jajahan mengadakan penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 dengan judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op de Grond biasa disingkat Eindresume. Ternyata pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian ini. Pada tahun 1870, Menteri Jajahan de Waal mengajukan RUU ke parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian ditambah 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, sehingga menjadi 8 ayat, di mana satu diantaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun bukan lagi 99 tahun seperti dalam RUU van de Putte yang sebelumnya ditolak Parlemen. Pasal 62 RR dengan 8 ayat ini kemudian menjadi Indische Staatsregeling IS yang diundangkan dalam Lembaran Negara Staatsblad No. 188 tahun 1870. Ketentuan-ketentuan tersebut dalam pelaksanaannya diatur dengan berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 118 tahun 1870. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit inilah yang memuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak eigendom adalah domain negara domain negara maksudnya milik negara”. Agrarisch Besluit 1870 inilah menjadi tonggak penting swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda Wiradi, 2000 126-127. Undang-undang Agraria yang lahir pada 9 April 1870 yang menjadi pasal 51 dari Wet op de Indische Staatsregeling, isinya sebagai berikut 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah, 2. Larangan itu tidak mengenai tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan dan bangunan, 3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah yang diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia atau dipergunakan untuk tempat menggembala ternak bagi umum atau yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya, 4. Dengan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 163 pakai turun-temurun untuk selama-lamanya 75 tahun, 5. Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia, 6. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri, atau untuk keperluan lain kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; semuanya itu dengan pemberian ganti rugi yang layak, 7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat-syarat dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang, dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu, yaitu mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, dan juga tentang hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia, 8. Persewaan tanah oleh rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut undang-undang. Seterusnya dalam undang-undang itu termasuk juga hak-hak baru atas tanah, di antaranya disebutkan 1. Pemberian hak erfpacht atas tanah yang berupa hutan belukar; 2. Perlindungan hak rakyat Indonesia atas tanah; 3. Membuka kemungkinan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak yang lebih kuat atas tanahnya; 4. Persewaan tanah oleh bangsa Indonesia kepada bangsa asing. Maksud yang terkandung dalam undang-undang itu menyatakan 1. Menjamin kepentingan modal besar partikeliryang akan menanamkan modalnya di lapangan pertanian dan perkebunan dengan memberi kesempatan kepada modal besar partikelir untuk mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan perkembangannya, 2. Melindungi hak milik rakyat atas tanah sebagai golongan yang lemah dari akibat no. 1 di atas, dengan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak agraris eigendom atas tanahnya sebagai hak yang lebih kuat, serta perlindungan dengan Undang-undang agar jangan sampai tanahnya itu gampang jatuh ke tangan orang asing. Isi dua maksud dari Undang-undang di atas sangat bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Dari dua maksud tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu harus mengorbankan salah satu di antaranya. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 164 Keduanya merupakan pilihan yang cukup sulit, ibaratnya memelihara harimau dan kambing dalam satu kandang. Harimau harus gemuk, kambing perlu hidup dan jangan mati Tauchid, 2009 24-26 Salah satu inti perundangan tersebut, Domein Verklaring, merupakan langkah awal yang radikal dalam mengusahakan sentralisasi penguasaan tanah dan sumber daya lain ke tangan negara secara faktual. Ekonomi Belanda saat itu telah siap untuk ekspansi modalnya secara mendiri, tidak lagi diwakilkan pada negara kolonial seperti sebelumnya, di daerah kolonial. Kawasan yang dianggap bebas kepemilikan, terutama daerah dataran tinggi, di definisikan sebagai tanah negara dan dapat disewakan pada swasta selama 75 tahun. Di dataran rendah swasta dapat menyewa tanah dari penduduk. Perkebunan tanaman keras bermunculan, dan kawasan tanam paksa seperti daerah tebu sedikit demi sedikit beralih dari negara ke tangan swasta. Intervensi radikal dari negara kolonial ke dalam sistem penguasaan tanah dan produksi masyarakat sejak awal telah berdampak besar pada kehidupan rakyat di desa maupun kelembagaan pemerintahan pedesaan. Penelitian dari pemerintah Belanda sendiri memperlihatkan peningkatan kemiskinan di antara penduduk desa. Studi-studi dari Boeke yang melontarkan pengertian ekonomi dualistik dan statik expansion lepas dari penilaian terhadap pengertian-pengertian di atas mengindikasikan kemandekan ekonomi rakyat. Demikian pun konsep involusi pertanian dari Geertz mengindikasikan berkurangnya tanah bagi petani dan pemiskinan. Daya jangkau dan teknologi saat itu tidak memungkinkan negara kolonial dan pemodal besarnya saat itu cepat berekspansi keseluruh kawasan Indonesia. Hanya beberapa enklave, seperti Sumatera Timur/Deli, menyaksikan ekspansi kapital dalam bentuk perkebunan-perkebunan tembakau dan berakibat pada penggusuran tanah-tanah penduduk diprakarsai oleh penguasa pribumi yang mempunyai kepentingan sama dengan pekebun-pekebun asing. Di segi lain, ekspansi negara kolonial ini berdampak pada kebutuhan sistem pemerintahan yang langsung. Terutama di Jawa, pemerintahan desa berkembang menjadi bagian integral dari pemerintah pusat kolonial, mengabdi dan loyal pada kepentingan pemerintahan pusat kolonial dan modal besar Shohibuddin, 2012 45-46. Vollenhoven 2013 166-167 menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Agrarische Wet 1870 dituangkan rinciannya dalam keputusan-keputusan agraria atau Agrarisch Besluit yang hanya berlaku di Jawa dan Madura. HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 165 Inti dari Agrarisch Besluit dijabarkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan produk-produk selanjutnya berisi perubahan berbagai pasal dari Staatsblad 1870 No. 118 itu. Yang termasuk keputusan agrarian adalah Statasblad 1870 No. 118 Staatsblad 1872 No. 116 Staatsblad 1874 No. 78 Staatsblad 1877 No. 196 dan 270 Statasblad 1888 No. 78 Staatsblad 1893 No. 151 Staatsblad 1893 No. 199 Staatsblad 1896 No. 140 Staatsblad 1904 No. 325 Staatsblad 1910 No. 185 Staatsblad 1912 No. 235 Staatsblad 1916 No. 647 dan 683 Staatsblad 1926 No. 321 Staatsblad 1935 No. 118 jo Staatsblad1937 No. 339 Domeinverklaring dinyatakan dalam Agrarische Besluit Staatsblad 1870 No. 118 dan berlaku untuk Jawa dan Madura. Untuk wilayah di luar Jawa dan Madura secara umum, domeinverklaring dinyatakan dalam Staatsblad 1875 No. 199a. Dan untuk wilayah-wilayah khusus, adalah sebagai berikut Sumatra Staatsblad 1874 No. 94f Manado Staatsblad 1877 No. 55 Kalimantan Selatan/Timur Staatsblad 1888 No. 58 DAMPAK DARI DIBERLAKUKANNYA AGRARISCHE WET 1870 Pada era ini, semua tanah tak bertuan atau tanah kosong dikuasai oleh negara, sehingga negara bertindak sebagai dominum pemilik tanah. Hal ini dimungkinkan supaya negara dapat menjual hak penguasaan tanah kepada swasta. Ketentuan ini dituangkan di dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870 yang mengatur mengenai asas domein verklaring, dengan ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapatdibuktikan dengan hak eigendom-nya adalah domein negara Wodowati, 2014 15. Bertolak dari kepentingan politik keagrariaan Belanda di Hindia Belanda, maka negara harus dijadikan pemilik tanah tertinggi. Dasar pemikirannya adalah karena daerah jajahan telah ditaklukkan secara militer sehingga menjadi daerah taklukkan’ gekongcuesteert gebied maka tanahnya pun menjadi tanah taklukkan’ agri limitati-Lat.. Berdasarkan kenyataan itu, negara bisa menjadi pemilik tanah tertinggi atas tanah taklukkan’. Dasar hukumnya untuk daerah jajahan, kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarische Besluit 1870 yang merupakan penjelasannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria 1870. Dalam Pasal 1 Agrarische Wet 1870 itu ditegaskan bahwa seluruh tanah adalah milik negara Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 166 landsdomein, kecuali dapat dibuktikan dengan bukti hak milik eigendom’ berdasarkan Pasal 570 KUHPInd. Dengan demikian, struktur kepemilikan tanah di daerah jajahan yang diteruskan oleh pemerintahan negara Hindia Belanda adalah hanya mengenal dua subjek hukum pemegang hak milik eigendom’ atas tanah yaitu negara dan orang sebagai pribadi hukum, seperti tampak dalam Diagram No. 3 berikut. Diagram Struktur pemilikan hak milik eigendom’ di Hindia Belanda Sumber Abstraksi Herman Soesangobeng dari BW/KUHPInd. dan Agrarische Wet 1870. Diagram no. 3 ini menjelaskan bahwa hak milik tanah yang sah secara hukum hanyalah hak eigendom yang diatur dalam asal 570 BW/KUHPdt. Demikian pula subjek pemegang haknya pun hanya warga negara Belanda dan orang Eropa yang tunduk pada hukum sipil Belanda BW/KUHPdt.. Negara sebagai subjek hukum baik dalam arti corpus comitatus’ maupun corpus corporatum’ adalah pemilik tertinggi’ het hoogste eigenar atas seluruh tanah dalam wilayah Negara. Konsep kepemilikan tertinggi ini pada sistem hukum komon common law system di Amerika disebut right of eminent domein’. Dengan ketentuan ini maka pemerintah Hindia Belanda berhak dengan bebas mengambil kembali tanah miliknya yang dikuasai penduduk Bumiputra. Bila diperlukannya baik untuk keperluan negara maupun untuk diberikan kepada pengusaha swasta Belanda bagi pengembangan usaha pertanian atau perkebunan. Karena sebelum VOC sampai terbentuknya pemerintahan Negara Belanda sudah ada penduduk-penduduk Indonesia yang menduduki dan menguasai tanah berdasarkan Hukum Adat mereka. Maka konsep tanah milik negara itupun lalu dibedakan antara tanah milik negara yang bebas vrij landsdomein dan tanah negara yang tidak bebas onvrij landsdomein. Tanah milik negara bebas adalah tanah-tanah milik negara yang tidak dilekati oleh hak-hak orang Bumiputra dengan hukum adatnya. Sebaliknya tanah negara tidak bebas adalah tanah milik negara yang diduduki dan dikuasai oleh orang Bumiputra berdasarkan hukum adat HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 167 mereka, sehingga hak adat orang Bumiputra masih melekat pada tanah milik negara Soesangobeng, 2012 87-89. Politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang mempunyai pengaruh besar pada eksistensi tanah ulayat adalah diundangkannya Agrarisch Wet 1870 Stb. 1870 No. 15527, dengan peraturan pelaksanaannya Agrarisch Besluit 1870, yang memberlakukan asas domein dalam sistem penguasaan tanah. Pasal 1 AB 1870 berbunyi “Behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waaropniet door anderen recht van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein milik negara. Pemberlakuan asas domein merupakan ide kaum kapitalis Belanda untuk mempermudah perolehan erfpacht dan opstal, sebab, menurut KUH Perdata, hanya pemilik eigneaar yang dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada pihak lain. Dalam Agrarisch Wet, pemerintah bukan pemilik tanah sehingga berdasarkan asas domein, negara adalah pemilik semua tanah kecuali yang bisa dibuktikan sebagai eigendom dan agrarische eigendom”. Domein Verklaring mengakibatkan tersubordinasinya sistem hukum asli Indonesia. Kata eigendom dalam Pasal 1 AB 1870 tersebut menimbulkan 3 tiga interpretasi Pertama, tanah eigendom dapat diartikan menjadi tanah yang dalam hukum perdata disebut sebagai hak kepemilikan eigendom dan agrarisch eigendom. Kedua, karena eigendom dapat diterjemahkan sebagai kepemilikan, ini dapat berarti tanah dalam segala bentuk kepemilikan pribadi, termasuk hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan, tetapi tidak termasuk hak kepemilikan komunal masyarakat adat yang disebut hak ulayat. Ketiga, ini dapat mencakup hak kepemilikan dalam hukum perdata dan hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan termasuk hak ulayat. Pada praktiknya, interpretasi pertama yang dipakai Sembiring, 2018 88-90. KAKAKTERISTIK PERKEBUNAN SWASTA BERDASARKAN AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan besar mulai hadir di Indonesia sebagai akibat politik liberal pemerintah kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula Suiker Wet 1870 menjadi landasan mulai dibukanya perkebunan swasta di Pulau Jawa. Dibukanya Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 168 perkebunan swasta menandai dimulainya kebijakan kolonial yakni dimulainya periode liberal 1870-1900. Sebelumnya monopoli pemerintah terhadap tanaman ekspor secara bertahap dihapuskan sejak 1860-an. Pertama kebijakan ini diberlakukan terhadap tanaman yang tidak menguntungkan dan terakhir tebu akhirnya berakhir pada 1890 serta kopi daerah terakhir yang menerapkan tanam paksa kopi baru ditutup pada 1919. Periode liberal bertepatan dengan ekspansi kekuasaan Belanda di luar Jawa. Eksploitasi perdagangan di pulau-pulau lainnya berlangsung selama abad ke-20. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19 produk-produk dari pulau-pulau di luar Pulau Jawa sudah masuk dalam kalkulasi perdagangan Belanda Ricklefs dkk, 2013 335-336 ; Kahin, 2013 16-17. Karakteristik sistem produksi perkebunan swasta pada masa ini umumnya mempunyai empat atribut yang melekat padanya, yaitu pertama, berorientasi ekspor dalam skala besar; kedua, kebutuhan tenaga kerja sangat besar dibanding dengan yang dapat tersedia oleh pasar tenaga kerja domestik yang bebas; ketiga, diperlukan mekanisme ekstra-pasar pemaksaan oleh aparatur pemerintah guna memenuhi kebutuhan tersebut dan mekanisme ini sangat dominan dalam menentukan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat; dan keempat, tumbuh budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan sosial yang terbentuk itu Wiradi, 2009 60. Selain itu, berbeda dari kebijakan cultuurstelsel yang bertumpu pada dan memanfaatkan sistem desa. Agrarische Wet 1870 sebaliknya hendak melepaskan tanah dari ikatan-ikatan komunalnya pada desa dan membebaskan warga dari kerja wajib kepada desa. Pemerintah kolonial juga mengakui hak milik warga atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik itu kepada orang-orang asing. Namun, tujuan yang lain di balik itu sebenarnya adalah untuk memungkinkan pengusaha partikelir dapat menguasai tanah-tanah di luar tanah negara, yakni tanah-tanah garapan penduduk karena sekaligus akan dapat menguasai tenaga kerjanya. Hal ini dilakukan melalui kontrak sewa tanah kepada para petani pemiliknya dan merekrut mereka sebagai tenaga kerja perkebunan melalui sistem upahan Shohibuddin, 2010 36-37. PERKEMBANGAN PERKEBUNAN SWASTA DI JAWA Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria memberikan kebebasan dan jaminan keamanan kepada para pengusaha investor. Undang-undang ini menekankan pribumilah yang dapat memiliki tanah. Namun, orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 169 pemerintah selama 75 tahun atau dari para pemilik pribumi selama 5 sampai 20 tahun tergantung persyaratan pada hak pemilikan tanah. Perkebunan swasta pasca diberlakukannya Agrarische Wet 1870 dapat berkembang di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan kapal uap sebagian berada di tangan orang-orang Inggris dalam waktu yang kira-kira sama mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan semakin membaiknya sistem perhubungan dengan Eropa Ricklefs, 2008 271. Ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan dan pengusahaan tanaman perdagangan di Hindia Belanda terjadi antara 1870 dan 1920, terutama gula dan tebu di Jawa termasuk juga teh dan kopi dan kemudian karet dan kelapa sawit di Sumatera. Dalam kurun waktu ini, industri pertanian atau perkebunan di Hindia Belanda mengalami perkembangan yang sangat pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I Padmo, 199127. Pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 di Pulau Jawa pemanfaatan lahan dimaksimalkan dengan sebaik mungkin. Daerah dengan demografi dataran tinggi digunakan untuk menanam kopi, teh, kina, dan ketela pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di dataran rendah, perusahaan perkebunan menanam tebu, kakao, dan tembakau Oudejans, 1999 25-26. Perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan di Pulau Jawa adalah perkembangan dalam industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Dalam tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah bahu. Sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat menjadi bahu. Di pihak lain, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari pikul dalam tahun 1870 meningkat menjadi pikul dalam tahun 1900. Demikian pula perkebunan-perkebunan teh mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah perusahaan- Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 170 perusahaan perkebunan mulai ditanam dengan teh Assam. Tanaman ekspor lain yang mengalami kenaikan dalam produksi adalah tembakau. Jauh sebelumnya tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Selama zaman liberalisme, pengusaha-pengusaha Belanda mendirikan pula perkebunan-perkebunan tembakaudi sekitar Basuki Jawa Timur yang kemudian mengalami perkembangan pesat. Perkebunan-perkebunan di Basuki tersebut bekerja sama erat dengan penduduk sekitar yang juga menanam tembakau yang kemudian disortir dan diolah selanjutnya di perkebunan-perkebunan besar. Di samping itu modal dan usaha Belanda mendirikan perkebunan-perkebunan tembakau yang besar di sekitar Deli Sumatera Timur. Tanaman-tanaman dagang lainnya yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang juga mengalami perkembangan pesat adalah kopi dan kina. Selama masa ini Hindia Belanda menjadi penghasil kina paling terkemuka di dunia karena hampir 90% kina yang digunakan di dunia pada waktu itu berasal dari perkebunan-perkebunan kina di Jawa. Di pihak lain, kopi tidak mengalami perkembangan begitu pesat selama seperti selama sistem tanam paksa berlaku Poesponegoro, 2008 377. Daerah-daerah utama penghasil gula di Pulau Jawa ada di Pantai Utara Jawa yang memiliki sistem pengairan sawah yang sangat baik, yaitu antara Keresidenan Cirebon sampai Semarang, kemudian di Selatan Gunung Muria hingga Juwana. Kemudian daerah kesultanan varstenlanden termasuk produsen gula yang baik pula. Menyusul setelah itu keresidenan Madiun, Kediri, dan Basuki di Jawa Timur. Selain itu, wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan daerah-daerah Surabaya hingga Jombang di Pantai Utara Jawa juga termasuk produsen gula utama Jawa Leirissa, 2012 65. Adapun perkembangan ekspor Hindia Belanda tahun 1874-1914 dapat dilihat pada Tabel Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa terjadi perkembangan luar biasa ekspor Hindia Belanda pada periode tahun 1874-1914. Sebagai suatu catatan, perlu diingat bahwa setelah 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan seret diakibatkan jatuhnya harga gula dan kopi di pasaran internasional. Jatuhnya harga gula di pasar dunia diakibatkan di Eropa mulai dilakukan penanaman gula bit beet sugar sehingga mereka tidak perlu lagi mengimpor dari Hindia Belanda. Pada tahun 1891 harga tembakau di pasar internasional juga jatuh sehingga mengancam kelangsungan hidup HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 171 perkebunan-perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Tabel Ekspor Hindia Belanda, 1874-1914 dalam jutaan Gulden Gula Kopi Teh Rempah-Rempah Tembakau Kopra Timah Minyak Bumi Karet Asal Jawa+Madura Luar Jawa Hindia Belanda 50 68 3 6 11 0 5 0 0 144 25 169 183 23 27 14 64 61 41 137 27 360 324 685 +266 -66 +800 +133 +482 + 720 ++ ++ +150 + +305 Sumber Van Zanden & Marks 2012, h. 85 dalam Boediono 2016 53 Krisis perdagangan tahun 1885 juga ikut memukul bank-bank perkebunan cultur banken yang meminjamkan uang ke berbagai perusahaan perkebunan. Akibat jatuhnya usaha perkebunan, maka secara otomatis ikut jatuh pula bank-bank perkebunan. Selain itu, krisis perdagangan pada tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan. Akan tetapi, direorganisasi menjadi perseroan-perseroan terbatas. Pemimpin perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langung tetapi oleh seorang manajer. Artinya seorang yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham. Begitu juga dengan bank perkebunan cultur banken juga tetap melanjutkan usahanya sebagai pemberi kredit kepada perkebunan-perkebunan. Namun, setelah krisis 1885 mereka pun juga mengadakan pengawasan atas operasi perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pada akhir abad ke-21 terjadi perkembangan baru dalam kehidupan ekonomi di Hindia Belanda. Sistem liberal murni dengan persaingan bebas mulai ditinggalkan dan digantikan dengan suatu tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan sosial-ekonomi Hindia Belanda khususnya di Jawa mulai dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan finansial dan industrial di negeri Belanda. Kewenangan-kewenangan tidak lagi diberikan kepada pemimpin perkebunan-perkebunan besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 172 yang berkedudukan di Jawa Daliman, 2012 52-53. PENUTUP Simpulan Perkembangan sistem perkebunan di Hindia Belanda tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Hindia Belanda pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870. Perkembangan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda mendapatkan momennya sejak diberlakukannya Agrarische Wet Wet 1870 menjadi landasan yuridis-formil masuknya investasi asing dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Pemodal swasta diberikan hak erfpacht hak guna usahaselama 75 tahun oleh pemerintah Belanda untuk membuka lahan perkebunan baru di Hindia Belanda. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunanpasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Khusus di Pulau Jawa, perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan adalah perkembangan pesat industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I. Saran Penelitian mengenai sejarah sosial ekonomi di Indonesia sangat menarik. Banyak sekali objek kajian yang bisa dikaji, terutama mengenai kondisi sosial ekonomi Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda. Salah satunya ialah penelitian ini yang membahas konsep dan dampak penerapan Agrarische Wet 1870 terhadap perkembangan perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Agrarische Wet 1870 inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang utama swastanisasi perkebunan di Indonesia jelas berpengaruh besar terhadap HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 173 perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia khususnya Pulau Jawa pada saat itu dan masa sekarang. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodelogi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta Ombak. Achdian, Andi. 2008. Tanah Bagi yang Tak Bertanah Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin. Bogor Kekal Press. Anggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Mizan. Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda. Yogyakarta Ombak. Kahin, George McTuran. 1952. Nationalism and Revolutin in Indonesia. 2013. Terjemahan oleh Tim Komunitas Bambu. Jakarta Komunitas Bambu. Leirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Ombak. Marzuki, Yas. 2004. Metodelogi Penelitian Sejarah dan Historiografi. Palembang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Oudejans, Jan 1999. Development of Agriculture in Indonesia. 2006. Terjemahan oleh Edhi Martono. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Padmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Media. Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Notosoesanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta Balai Pustaka. Rachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA. Ricklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Semesta. Ricklefs, Merle Calvin dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. Jakarta Komunitas Bambu. Salim, M. Nazir dkk. 2014. Dari Dirjen Agraria Menuju Kementrian Agraria Perjalanan Kelembagaan Agraria, 1948-1965. Yogyakarta STPN Press. Sembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad Ed.. 2012. Pembentukan Kebijakan Reformasi Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad., dan Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. Land Reform Lokal A La Ngandagan Inovasi Sistem Tenurial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Yogyakarta STPN Press. Soesangobeng, Herman. 2012. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori, dan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 174 Tauchid, Muchammad. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta STPN Press. Vollenhoven, Cornelis van. 1923. De Indonesier en Zijn Ground. 2013. Terjemahan oleh Soewargono. Yogyakarta STPN Press. Wiradi, Gunawan. 2000. Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta INSIST Press. Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta STPN Press. Wodowati, Dyah Ayu dkk. 2014. Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan. Yogyakarta STPN Press. Tim Riset Sistematis STPN. 2010. Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadialan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis. Yogyakarta STPN Press. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this ini merupakan hasil studi "revisit" atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi selama periode 1947-1964 dan dampak jangka panjangnya. Di buku ini diuraikan profil kebijakan land reform lokal berbasis inovasi sistem adat sebagai jawaban atas proses diferensiasi agraria yang terjadi di desa ini. Melalui pengalaman pelaksanaan land reform di desa ini kita ditunjukkan inovasi kebijakan yang didasarkan pada kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat yang bertujuan mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan produksi yang adil, sekaligus pada saat yang sama tafsir dan praktik lokal atas kebijakan nasional land reform yang lebih sesuai dengan kondisi dan tuntutan setempat. Hal ini berhasil diwujudkan oleh komunitas desa Ngandagan berkat kepemimpinan lokal yang kuat. Buku ini bukan saja berhasil merekonstruksi sejarah pelaksanaan land reform lokal sekian dekade lalu, tetapi juga memaknainya dalam konteks kekinian. Mohamad ShohibuddinG. WiradiBuku ini menghimpun tulisan-tulisan berserak Gunawan Wiradi mengenai seluk beluk masalah agraria, penelitian agraria dan reforma agraria. Dalam buku ini, Gunawan Wiradi dengan bahasa yang mudah dicerna berhasil menempatkan tantangan Reforma Agraria dalam suatu konteks permasalahan yang dari segi waktu terentang mulai dari masa kolonial hingga era mutakhir, dan dari segi ruang tergelar mulai dari aras mikro seperti desa Ngandagan hingga pata tatanan yang lebih kompleks di aras dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan AgrariaGita AnggrainiAnggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Indonesia Dalam Lintasan SejarahBoedionoBoediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Perekonomian IndonesiaR LeirissaLeirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Kajian Sosial EkonomiSoegijanto PadmoDjatmiko DanPadmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Reform Dari Masa Ke MasaNoer RachmanFauziRachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA.A History of Modern Since c. 1200 Fourth EditionMerle RicklefsCalvinRicklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Pengaturan dan Permasalahan Tanah UlayatJulius SembiringSembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press.
bmRM. 3vv76qgg23.pages.dev/1093vv76qgg23.pages.dev/1673vv76qgg23.pages.dev/3403vv76qgg23.pages.dev/1643vv76qgg23.pages.dev/3833vv76qgg23.pages.dev/213vv76qgg23.pages.dev/343vv76qgg23.pages.dev/283vv76qgg23.pages.dev/179
sistem pemilikan tanah di pulau jawa