STRUKTURSOSIAL, POLITIK, DAN PEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19 Mumuh Muhsin Z. Abstract Abstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman

Azahari Mahmudin. 2013. Sistem Pemilikan Tanah dan Kesan Terhadap Tanah Pemilikan Orang Melayu di Kedah 1660 hingga 1941. Tesis Sarjana Sastera, Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang. Azman Isa. 2013. Perkembangan Undang-Undang dan Pentadbiran Tanah di Kedah, 1667-1965. Tesis Ijazah Doktor Falsafah Sastera, Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang. CO 716/1 The Annual Report 1906-1920. CO 716/1 Yearly Report on the Administration of the State of Kedah. Emerson, Rupert. 1964. Malaysia A Study in Direct and Indirect Rules. Kuala Lumpur University Press. Ismail Kamus. 2009. Indahnya Hidup Bersyariat. Kuala Lumpur Telaga Biru. KAR 1327H 23 Januari 1909-22 Januari 1910. Ku Din Ku Meh. Undang-Undang Kedah. Kuala Lumpur Arkib Negara Malaysia. Mahani Musa. 2015. The Memory of the World Register The Sultan Abdul Hamid Correspondence and Kedah History. Kajian Malaysia. Vol. 33 Supp. 2 53-74. Mahani Musa. 2005. Sejarah Sosioekonomi Wanita Melayu Kedah 1881-1940. Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia. Mohammad Isa Othman. 1990. Politik Tradisional Kedah 1681-1942. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd Isa Othman. 2001. Pengalaman Kedah & Perlis Zaman Penjajahan British, Kuala Lumpur Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd. Mohd Kasturi Nor Abd Aziz. 2017. Kegiatan Jenayah di Kedah Menerusi Surat-menyurat Sultan Abdul Hami. Jurnal Sejarah. Vol. 20 No. 20 51-70. Mohd Kasturi Nor Abd Aziz. 2011. Warisan Kesultanan Melayu Surat-Menyurat Sultan Abdul Hamid dan Ekonomi Kedah. Sari-International Journal of the Malay World and Civilisation. 29 45-66. Nurizwanfaizi Nordin & Ahmad Kamal Ariffin Mohd Rus. 2013. Perkembangan Pentadbiran Tanah di Kedah, 1909-1917. Jurnal Sejarah. Vol. 22 No. 299-120. Othman Lebar. 2009. Penyelidikan Kualitatif; Pengenalan Kepada Teori dan Metod. Tanjung Malim Universiti Pendidikan Sultan Idris. Rozaini Ahmad & Ahmad Kamal Ariffin Mohd Rus. 2014. Dominasi Pengilang Cina, Pengeluaran Beras di Kedah, 1909-1941. Jurnal Sejarah. Vol. 24 No. 21-17. Salinan Surat Kepada Raja-Raja 1313 1895 No 2. Salinan Surat-Surat Raja-Raja 1317-1329 1899-1911 No. 3. Sharom Ahmat. 1984. Kedah Tradition and Change in Malay State A Study Economic and Political Development 1878-1923. MBRAS, Monograph No. 12. Surat-Menyurat Sultan Abdul Hamid Halim Shah No. 1- No. 10. Surat Raja-Raja 1306 1888 No. 1. Salinan Surat Undang-Undang 1321- 1327. SUK/K A 1331-1341 1912-1922, 1343-1354 1924-1935. Wright, A. et. 1912. The Malay Peninsular a Record of the British Progress in The Middle East. London Unwin.

DiPulau Jawa tanah pertanian yang beralih fungsi untuk permukiman dan industri seluas 81.176 hektar terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 hektar. Alih fungsi tanah pertanian yang terluas terjadi di Propinsi Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89%).
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman fa atan tanah berdasarkan aturan normative ataupun secara alami atas tanah. Adapun pengelolaan pertanahan khususnya di Pulau Jawa berdasarkan historis yuridis, dibagai dalam beberapa tahapan, yaitu a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional Adat di Jawa Bagian Tengah Landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham 19845 yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 23 penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage Wasino, 20051-2. Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi di daerah Kedu Barat, Bumija di daerah Kedu Timur, Numbak Anyar di daerah Bagelen timur, Penumping daerah sebelah barat Surakarta, serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang Wasino, 200518. Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag Wasino, 200529; Suhartono, 199129. Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari raja mereka mendapat Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 24 ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan Pesponegoro dan Notosusanto [ 1984 20. Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya16. Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bĂŞkĂŞl sebagai pengelola tanah lungguh. BĂŞkĂŞl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional. b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 16 Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 25 terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi. Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC17. Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak dan Pesisir Timur Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura. Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat. Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Gubernur Jenderal Deandles berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa 17 Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 26 wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia 1811-1816 di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent Sistem Sistem Sewa Tanah dengan dengan 3 tiga azas pengelolaan tanah18. Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC Wasino, 2005 5. Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat Wasino, 20056. Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasa an tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan 18 3 tiga azas sistem sewa tanah Raffles, yakni 1 segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, 2 peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, 3 pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Ong Hok Ham, 19843. Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara Suhartono, 199175. Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa cultuurstelsel oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara Wasino, 20056. Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad Lembaran Negara Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn pola penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat Jawa pada Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 28 umumnya masih bersifat komunal, dalam Undang-undang ini mengatur kearah indivindualistis. Diantaranya 1.Memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. 2.Dimungkinkannya untuk memiliki hak mutlak atas tanah hak eigendom termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing. 3.Sistem penguasaan tanah di Jawa yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. 4.Gubernur Jenderal van Heutz secara bertahap menghapuskan sistem apanage pada kurun waktu 1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan. 5.Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggaduh pinjam sementara telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe milik secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern 6.Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 29 hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Suhartono, 1991 96-101. c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta Terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa perubahan eksistensi Kasultanan Yogyakarta yang semula merupakan bagian dari wilayah pemerintah Hindia Belanda, kemudian Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono IX maupun Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII19, menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia20. Untuk 19 Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sesungguhnya sejak saat itu sudah bergabung menjadi satu daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Pangeran Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur. Pengesahan penggabungan kedua daerah kekuasaan tersebut disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. 20 Amanat Sri Paduka Ingkang Sinumuwun Kanjeng Sultan Kami, Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menyatakan 1 Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2 Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3 Bahwa hubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini. Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe, 1877 5 September 1945 HAMENGKUBUWONO Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 30 mengatur urusan pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah, antara lain Maklumat Nomor 13 tahun 1946 tentang tanah negeri dan berdasarkan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat kewenangan untuk mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu diantara urusan yang menjadi kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bidang keagrariaan/pertanahan Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 secara nasional pada tanggal 24 September 1960. Kewenangan keagrariaan seharusnya berada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat, tetapi dalam pelaksanaan penghapusan tanah-tanah swapraja sebagaimana diatur dalam Diktum Keempat A UUPA yang menyatakan bahwa hak dan wewenang atas bumi dan air, swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak berlakunya UUPA, dan dalam Diktum Keempat B akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut tidak segera diwujudkan. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 31 ketentuan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954. Dalam penjelasan umum, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan pasal 11 dinyatakan bahwa, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domein sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman Tahun 1919 Nomor 18, di mana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah milik/domain kerajaan/Kraton Yogyakarta. Penguasaan tanah oleh Sultan Yogyakarta didapat sebagai pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian yang diadakan di Desa Giyanti sehingga dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti pada tahun 13 Februari 1755. Setelah adanya perjanjian Giyanti, maka Sultan Hamengku Buwono mempunyai hak milik domein atas tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram dan hal ini tetap harus hidup dalam kesadaran hukum masyarakat KPH. Notojudo, 1975 4-5, sehingga di seluruh wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan tegas diberlakukan asas domein. Asas ini merupakan pernyataan sepihak dari Sultan. Seperti yang termuat dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarben ing liyan, mawa wenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 32 Ingsun Ngayogyakarta. atau Semua tanah yang tidak ada tanda kepemilikan orang lain maupun wewenang eigendom, adalah milik Sultan Hak eigendom dan hak opstal yang bisa dimiliki oleh rakyat adalah berpangkal pada pasal 570 BW, peraturan tersebut merupakan ketentuan yang dikeluarkan pihak pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di wilayah Kasultanan Yogyakarta karena adanya ikatan kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940. Selanjutnya setelah seluruh tanah selain yang dilekati dengan hak eigendom dinyatakan milik kraton, diantaranya diserahkan kepada 1.Konsekuensi dari diberlakukannya asas domein tersebut maka rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom, untuk masyarakat kota[raja penguasaan tanahnya adalah dengan hak anggaduh yaitu penguasaan dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil tanahnya jika merupakan tanah pertanian dan apabila berupa tanah pekarangan, maka mereka dibebani kerja tanpa upah untuk kepentingan Raja Boedi Harsono, 1968 56 . Untuk selanjutnya berdasarkan RB Kasultanan Yogyakarta 1925 Nomor 23 dan RB Kadipaten Pakulaman 1925 Nomor 25, warga masyarakat di Kotapraja diberikan hak andarbe . sedangkan warga masyarakat di pedesaan luar kotapraja diberikan hak anganggo turun temurun. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 33 2.Untuk desa atau kalurahan yang sudah ada dan dibentuk diberikan dengan hak andarbe atau tanah hak milik desa21, dengan pengaturannya sebagai berikut a Hasil dari penggunaan dan pemanfaaan tanahnya untuk pembiayaan administrasi desa/kalurahan dengan status Tanah Kas Desa. b Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya yang dipergunakan untuk penmghasilan perangkat desa pamong dengan status Tanah Bengkok/Lungguh c Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya untuk mantan perangkat desa pamong dengan status Tanah Pengarem-arem, dan d Tanah desa lainnya untuk kepentingan umum seperti jalan, lapangan, pengembalaan, makam, dsb. e Tanah domein bebas yang penggunaan dan pemanfaatannya berupa hutan belukar, terlantar, dan tanah yang tidak dapat dimanfaatkan. Permasalahannya sampai saat ini dari pengukuran kadastral dan pelacakan yang dilaksanakan sejak 1993 hingga 2000 Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional serta perangkat desa, 21 Untuk penduduk Kotapraja Yogyakarta Dapat Diberikan Hak Milik Atas Tanah, sedangkan untuk luar kotapraja yang dapat memiliki Hak Milik Atas Tanah adalah Kalurahan sekaranag desa atau Dorps Beschikkingrecht. Untuk penduduk hanya dapat diberikan Hak Pakai Turun-temurun atau Erfelijk Individueel Gebriksrecht. Selo Sumardjan, 1986, Tanggapan Atas Disertasi Berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 34 baru dapat mendata hektar tanah-tanah Sultanaat Ground SG atau Siti Kagungandalem dan Pakualaman Ground PAG22. Untuk memberi solusi dalam pendaftaran tanah telah dikeluarkan Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 21 Oktober 2003 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart, diantarnya berisi tentang persyaratan permohonan hak atas tanah di atas Sultan Ground ataupun Pakualaman Ground, dapat didaftarkan dengan hak atas tanah sesuai dengan UUPA di atas tanah Sultan Ground/Pakualaman Ground. 22 Surat Kakanwil BPN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Bapak Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, tanggal 13 Februari 1999, perihal Penertiban tanah-tanah Swapraja di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 35 Refleksi Sejarah dan Politik Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta Secara tradisional Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kasultanan Mataram adalah pemilik atas tanah yang ada di dalam daerah kekuasaan atau wewengkon-nya Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Soemarsaid Moertono, 1963; Soeripto, 1929; Rouffaer, 1931 kecuali apabila disebut secara khusus. Dalam Adatsrechtbundel Jilid XXXIV, menyebutkan bahwa wilayah Kasultanan Mataram lama dapat dibedakan menjadi tiga bagian23 yaitu a. Negara, ibukota kota istana yang menjadi pusat segala kehidupan yang mencakup masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. b. Nagara-gung yang secara harafiah berarti kota besar. c. Mancanegara, yaitu daerah di luar Nagara. Dalam perkembangannya, setelah terjadi penyerangan masyarakat Cina yang disebut Geger Pacinan dengan penyerangan ibu kota Kasultanan Mataram di Kartosuro pada tahun 1742 dan mangkatnya Sri Sunan Paku Buwono II pada tahun 1749, diangkatnya Pangeran Adipati Anom sebagai Sri Sunan Paku Buwono III. Dalam kondisi peperangan melawan kumpeni. Dikarenakan keleLahan dalam peperangan, maka diadakan 23 Suyitno, Tanah Kasultanan Yogyakarta SG dan Pakualaman PAG. Tinjauan Historis-Yuridis. Tidak dipublikasikan. Dipresentasikan di Balai Senat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 14 Februari 2009. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 36 perundingan antara Gubernur dengan Pangeran Mangkubumi di Gianti pada tanggal 13 Februari 175524. Dalam melaksanakan pekerjaan penggarapan tanah, Sultan mengatur penggunaan tanah berdasarkan Pranatan Patuh 1863 atau kepatuhan/ kebekelan yang menggunakan sistem apanage. Adapaun pengaturan penggunaan tanah tersebut sebagai berikut 1. Tanah Keprabon Crown Domain Keparabon Dalem atau Tanah mahkota adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan pembangunan istana, alaun-alaun, masjid, taman sari, pesanggrahan atu bangunan pendukung lainnya; Keprabon ini merupakan serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Ngayogyakarta. Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, istana keraton dan lain sebagainya.
Strukturtanah di Kepulauan Kei berbatu-batu dan tandus. Batu dalam Bahasa Portugis disebut "kayos", sehingga Bangsa Portugis yang singgah pada zaman dahulu menamakannya Pulau Kei. SISTEM PEMILIKAN TANAH DAN LAUT Tanah dan laut di Kepulauan Kei pada dasarnya telah dibagi habis pemilikannya kepada seluruh warga masyarakat dalam satuan
ArticlePDF Available AbstractAbstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial. Abstract In 19th century, Priangan – and Java in general – faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash crops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their society. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 386Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSTRUKTUR SOSIAL, POLITIK, DAN PEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19Oleh Mumuh Muhsin Sejarah Fakultas Sastra Universitas PadjadjaranJl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangoremail mumuhmz diterima 15 Juni 2011 Naskah disetujui 4 Juli 2011AbstrakAbad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kunci Priangan, sosial, politik, 19th century, Priangan – and Java in general – faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3872011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungcrops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their Priangan, social, political, landPENDAHULUANA. Pada abad ke-19 hubungan antara kekuasaan tradisional pribumi dan kekuasaan Kolonial Belanda menunjukkan dua gejala yang bertolak belakang. Di satu pihak kekuasaan kolonial makin meluas, di lain pihak kekuasaan pribumi makin melemah. Hubungan dengan kekuasaan kolonial ini berpengaruh terhadap berbagai segi kehidupan. Dalam bidang politik, pengaruh Belanda makin kuat karena intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern kekuasaan pribumi seperti dalam masalah suksesi, promosi, mutasi, dan rotasi pejabat. Dalam bidang ini, penguasa-penguasa tradisional makin bergantung pada kekuasaan asing sehingga kebebasan dalam menentukan soal-soal pemerintahan makin melemah. Dalam bidang sosial-ekonomi kontak dengan Barat berakibat melemahnya kedudukan kepala-kepala daerah dan pemimpin-pemimpin tradisional. Kekuasaan mereka berangsur berkurang dan ditempatkan di bawah pengawasan pejabat-pejabat asing sedangkan tenaga mereka dilibatkan dalam sistem eksploitasi ekonomi kolonial. Di Priangan faktor-faktor produksi pertanian, baik menyangkut tanah maupun tenaga kerja, diatur sedemikian rupa untuk kepentingan kolonial. Para petani dibebani tugas mengolah sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman ekspor dan diharuskan menyumbangkan tenaganya secara paksa pada penguasa kolonial. Dalam bidang budaya, abad ke-19 merupakan momentum makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat dalam lingkungan kehidupan tradisional. Tulisan ini memfokuskan kajian pada tiga aspek, yaitu aspek sosial, politik, dan pertanahan. Ketiga aspek ini menjadi instrumen handal bagi pemerintah kolonial mengeruk keuntungan HASIL DAN BAHASANStruktur Sosial dan Politik 1. Secara umum terdapat tiga level masyarakat Priangan, yaitu menak sebagai kelas sosial paling tinggi, kemudian diikuti santana sebagai kelas menengah, dan somahan sebagai kelas bawah. Ada tiga kriteria yang dapat menentukan posisi seseorang dalam masyarakat saat itu. Pertama adalah faktor keturunan atau hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam birokrasi pemerintah. Seseorang yang memiliki satu karakteristik atau kedua-duanya, dia termasuk kelompok menak elite. Ketiga, kepemilikan seseorang terhadap tanah, yang kadang- 388Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkadang atau bahkan kebanyakan dari mereka, berkorelasi dengan posisinya dalam struktur birokrasi. Orang di luar kelompok menak dan santana dianggap sebagai orang kebanyakan commoners.Sebelum VOC be r k u a s a atas Priangan, struktur masyarakat Priangan terdiri atas kelas sebagai berikut. Struktur sosial paling atas adalah bupati, sebagai menak paling tinggi, dan keluarga bupati merupakan kelas yang tinggi juga. Kemudian diikuti pejabat-pejabat kabupaten, yang biasanya merupakan klien personal atau kerabat bupati. Termasuk dalam kelas ini adalah pejabat militer, sipil, agama, dan pengadilan. Mereka dikategorikan sebagai santana atau kadang-kadang disebut juga menak rendah. Kelompok pejabat ini terdiri atas orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, bakat dan kemampuan, atau kesetiaan kepada penguasa bupati. Pada periode yang kemudian, terutama setelah Pemerintah Kolonial memperkenalkan lembaga-lembaga pendidikan, stratikasi sosial tidak lagi sekadar karena keturunan tapi ditentukan oleh fungsi dan pekerjaan. Kedua faktor ini, pendidikan dan pekerjaan, cenderung mengimbangi dominasi kelas menak di tengah masyarakat. Di antara orang Priangan, anggota keluarga menak atas yang memiliki akses sangat terbuka pada pendidikan Barat. Namun, keluarga menak rendah santana, karena jumlah anggota keluarganya yang lebih banyak, mungkin mayoritas dari merekalah yang secara riil memperoleh pendidikan ini. Pada permulaannya, Kompeni melindungi pola otoritas tradisional dengan tujuan menjadikannya sebagai alat untuk memperlancar dan mempercepat proses produksi tanaman ekspor. Selain itu, kebijakan ini pun dinilai dapat mengamankan penyerahan produksi. Selanjutnya Kompeni menciptakan ikatan kontraktual dengan elit tradisional. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan tereduksinya posisi bupati yang memiliki ketergantungan secara ekonomi kepada Kompeni. Pengambilalihan Priangan oleh Pemerintah Belanda dari Kompeni pada permulaan abad ke-19 berarti implementasi standar-standar administratif baru dalam wilayah ini sesuai dengan sistem hukum baru pula. Inovasi penting dalam organisasi politik yang diterapkan pemerintah kolonial adalah distribusi kekuasaan politik di antara pengawas-pengawas Belanda yang mengontrol prestasi bupati dan bawahannya. Perubahan ini berimplikasi pada perlunya membagi wilayah ke dalam bagian-bagian sik yang konkret, yang kemudian disebut keresidenan. Bupati ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Bupati berubah menjadi pejabat dengan beberapa keterbatasan dan menjadi subordinat atas superioritas pejabat Belanda Kartodirdjo, 1984 134. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah pejabat-pejabat Belanda, meskipun secara umum tetap terbatas. Pada tahun 1860 total jumlah pejabat Belanda yang tinggal di Priangan sebanyak 38 orang, dipimpin oleh residen yang tinggal di Bandung, tiga orang asisten residen di ibu-ibu kota kabupaten, dan sembilan inspektur tanaman. Seluruh sistem tanaman kopi diatur oleh 12 orang Eropa Svensson, 1992 109.Selain itu, tampilan administrasi pemerintah telah meningkatkan tuntutan yang besar untuk birokrasi. Dalam periode yang relatif singkat terbuka kesempatan bagi orang-orang non-menak atau santana untuk memasuki Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3892011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungbirokrasi pemerintahan. Pada tahun 1860, misalnya, tercipta kesempatan yang besar untuk bergabung dalam birokrasi di Priangan. Mengitari lima bupati terdapat pejabat yang memimpin wilayah. Mereka itu terdiri atas 73 kepala kacutakan district yang disebut wedana, kepala terup under-district yang disebut pattinggi, kepala desa yang disebut lurah, dan pegawai rendah di kampung. Selain itu, terdapat pejabat lain dalam posisi yang berbeda beberapa di antaranya yang terlibat dalam pengerjaan tanaman kopi, penyerahan kopi, yang bertanggung jawab mengorganisasi pekerja/buruh, atau yang menangani pengumpulan pajak, transportasi, polisi, dan yudisial. Selain itu terdapat juga pejabat-pejabat yang menangani urusan agama. Jumlah mereka sebanyak orang. Kesemuanya bertanggung jawab kepada bupati. Mereka itu terdiri atas 5 orang kepala penghulu, 6 orang kepala khalifah atau naib, 72 orang penghulu distrik, 99 orang khalifah atau naib distrik, orang lebe, 830 khatib, imam, modin, merbot, bilal, dan 73 amil zakat Van Rees, 1869; Svensson, 1992 110; Pijper, 1977.Pada tahun 1870 Pemerintah Kolonial mereorganisasi administrasi pemerintah pribumi berhubungan dengan prinsip-prinsip esiensi dan efektivitas pemerintahan. Untuk tujuan-tujuan itu, struktur administrasi baru diciptakan. Pemerintah Kolonial mengurangi jumlah pegawai pribumi dalam birokrasi pemerintah, baik pegawai sekular maupun pegawai agama. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 10 Oktober 1870 dan dibukukan dalam Staatsblad tahun 1870 nomor 124 diputuskan bahwa jumlah pejabat pribumi dalam birokrasi pemerintah sebanyak orang dengan rincian sebagai berikut 5 bupati, 9 patih termasuk patih afdeling, 5 mantri kabupaten, 1 hoffddjaksa, 1 adjunct-hoofddjaksa, 8 jaksa, 8 adjunct-djaksa, 5 hoofd-penghulu, 4 penghulu, 63 wedana hoofd-district, 150 asistan wedana hoofd-onderdistrict, 9 onder-collecteur, 50 mantri pengairan, 82 juru tulis, dan 625 upas. Keputusan itu tidak menutup kemungkinan mengangkat orang lain sebagai pegawai sejauh bupati punya kesanggupan menggajinya Lubis , 1998 40. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga dalam hak dan kewenangan pegawai pribumi dikurangi oleh Pemerintah Kolonial. Bupati dan pegawai bawahannya telah kehilangan posisi supremasinya. Kelompok pegawai secara formal ditransformasikan ke dalam korps birokrasi profesional, pamongpraja, yang dipekerjakan oleh negara dengan gaji dan pola promosi yang IGAJI BUPATI DI KERESIDENAN PRIANGAN PER TAHUN 1871-1895BUPATI GAJI f.TUNJANGAN f.PERSENTASE PENYERAHAN PRODUKSI KOPI f.Cianjur - - 390Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSumber Henry Charles van Meerten. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Groun, hlm. jumlah persentase itu sesuai dengan perbedaan hasil panen kopi di tiap kabupaten. Sementara itu, gaji untuk pejabat-pejabat di bawah bupati tampak dalam tabel IIGAJI PARA PEJABAT KABUPATENDI KERESIDENAN PRIANGANTAHUN 1871-1895PEGAWAI GAJI PER BULAN f.Patih 250Wedana 200Ondercollector 150 – 200Jaksa 150Hoofdpenghulu 135Assistant Wedana 100Mantri 25Juru tulis 15Sumber Martanegara. 1923. Babad Raden Adipati Aria Martanegara. Bandung Aoerora, p. ukuran kekuasaan pun tampak pada pejabat pengawasan supervision Pemerintah Kolonial pada semua level pejabat pribumi. Bupati, dan wakil patih ditempatkan di bawah pengawasan Residen Priangan yang berkedudukan di Bandung. Delapan asisten residen serta stafnya ditempatkan di wilayah-wilayah berpopulasi besar. Sepuluh orang kontroleur Belanda, dan kemudian juga sejumlah onder-controleurs, ditempatkan untuk mengawasi wedana dan camat Svensson, 1992 116. Sebaliknya, penguatan pegawai bumiputera yang paling bawah diciptakan. Urusan-urusan desa yang sebelumnya ditangani oleh wedana atau camat diambil alih oleh komunitas desa bentukan baru yang didisain mengikuti model di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiap desa, yang disusun oleh 3-5 kampung, diberi otonomi untuk mengurus persoalan internalnya sendiri yang dipimpin oleh lurah. Lurah diberi hak untuk menarik pajak dan pelayanan untuk kepentingan desa, memelihara hubungan dengan tingkat administrasi yang lebih dari sisi agama, Priangan merupakan keresidenan yang penduduknya sangat ketat dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Kewajiban-kewajiban Islam dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Islam sebagai agama resmi memberikan struktur moral bagi kehidupan sosial dan memainkan peran penting dalam kehidupan orang Sunda. Salah satu indikatornya adalah jumlah orang Priangan yang menunaikan kewajiban ibadah haji. Pada tahun 1876 – 1888 jumlah jamaah haji dari Priangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan keresidenan lain di Pulau Jawa. Jumlah jamaah haji dari Priangan adalah orang atau 22,1%. Jamaah haji secara keseluruhan dari Jawa pada periode tersebut adalah sebanyak orang Svensson, 1983 116. Selain menjadi indikator ekonomi, haji pun menjadi simbol “ketaatan“ beragama. Penguasa-penguasa Priangan sering menunjuk kerabatnya bukan untuk menduduki posisi di pamongpraja, tapi pada posisi berpengaruh dalam jabatan-jabatan keagamaan, seperti korp penghulu dan pelayan masjid Palmer, 1959 50. Selanjutnya di Priangan pejabat keagamaan memiliki peran penting dalam struktur pemerintahan pribumi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3912011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungPenghulu, pejabat tertinggi keagamaan, banyak diisi oleh kerabat bupati. Mereka adalah pemimpin sejumlah besar rakyat. Pertangungjawaban mereka sering melampaui persoalan keagamaan; mereka sering menangani persoalan hukum bersama-sama dengan polisi dan jaksa. Pejabat rendah keagamaan, seperti lebe, amil, khatib, imam memiliki hubungan yang dekat dengan penduduk desa. Hampir semua siklus kehidupan memiliki hubungan dan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Mulai dari peristiwa kelahiran, pernikahan, kematian hingga budaya pengurusan padi dan ritus kesuburan tanah dan tanaman, pejabat-pejabat keagamaan memiliki peran penting. Mereka juga mengawasi dan mengatur manajemen irigasi dalam mengairi sawah. Kontrol irigasi melegitimasi “kewajiban” keagama an dan membuat nya mudah dalam menetapkan besaran pemungutan zakat tanaman padi dan zakat fitrah. Svensson, 1992 111. Pada tahu 1870 pejabat keagamaan dicabut dari posisi strategisnya dalam pertanian. Mereka tidak boleh ikut campur terhadap masalah kehidupan keduniaan penduduk, seperti irigasi dan penanaman di luar pegawai pemerintah disebut somah commoners, yang kebanyakan dari mereka adalah petani. Mereka terdiri atas dua kelompok utama. Pertama adalah pribumi atau sederhananya disebut bumi. Bumi adalah penduduk inti kerndorpers yang merupakan orang pertama yang menduduki lahan, pemilik tanah yang mereka buka. Mereka juga memiliki rumah dan halamannya. Mereka memiliki hak waris atas tanah, yang secara prinsip dapat dibeli atau dijual. Tanah yang mereka miliki membuat mereka berkewajiban membayar pajak, mengerahkan buruh corvee-labour, dan menyerahkan kopi. Kelompok kedua adalah rumah tangga tidak memiliki tanah landless households. Mereka terdiri atas empat jenis yang berbeda. Pertama, manumpang, yang hanya memiliki rumah dan halamannya, tapi tidak memiliki tanah sawah atau kebun. Mereka bergantung pada rumah tangga bumi, bekerja sebagai penyewa tenants, bagi-hasil sharecroppers, atau sederhananya sebagai buruh tanam. Manumpang bisa menjadi bumi ketika mereka, berkat kerja kerasnya, memiliki tanah sendiri. Kedua, rahayat yan g dihubungkan dengan pelayanan kepada berbagai menak, tapi biasanya juga kepada rumah tangga bumi. Di samping berbagai pelayanan, mereka menanam tanah pemilik patronnya secara bagi-hasil. Ketiga, kostangers, orang yang memiliki rumah di tanah menak atau bumi. Mereka bekerja untuk pemilik tanah yang sering juga disebut juragan baas atau huisvester. Keempat, bujang orang yang merupakan buruh bebas yang mendapatkan kehidupannya dengan bekerja serabutan di berbagai bidang pertanian, pengangkutan, dan lain-lain. Yang penting bagi mereka adalah mendapatkan upah. Selain itu, terdapat sekelompok kecil pedagang small group of petty trader, yang sekaligus juga sebagai rumah tangga petani, artisan yang tinggal terutama di dekat perkampungan yang besar Van Vollenhoven, 1918 706-707; Svensson, 1992 112; Lubis, 1998 137.Pemilikan dan Penggunaan Tanah2. Desa memiliki dua sumber natural, yaitu tanah dan orang yang membuat tanah itu produktif. Bagi penduduk petani, 392Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah adalah segalanya. Tidak hanya memiliki nilai ekonomi, di mana tanah bisa ditanami berbagai jenis tanaman baik subsisten maupun komersial, tapi juga memiliki nilai kultural dan bahkan nilai sakralitas yang tinggi. Di sanalah mereka dilahirkan, dibesarkan, dan di tempat yang sama mereka ingin dikuburkan, tidak jauh dari pekuburan leluhur mereka. Bagi masyarakat petani, tana h pun meru pakan sumber utama produksi dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemilikan tanah membuat seseorang menempati prestise dan stratikasi sosial tinggi, dan pertanyaan bisa diajukan berkait dengan persoalan tanah di pedesaan Jawa pada abad ke-19, sehingga mengundang debat di antara para peneliti. Pokok perdebatan tentang hak atas tanah di Jawa adalah apakah pemilikan tanah itu terletak pada penguasa, atau pada badan pemilik yang mengumpulkan pajak dan menentukan kegunaan tanah, atau pada badan korporasi seperti dusun kecil hamlet atau desa village, atau pada individu petani penanam. Selain itu, ada persoalan lain seperti apakah pemilikan tanah di Jawa itu bersifat individual atau komunal; dan apakah pemilikan tanah dihubungkan dengan kewajiban buruh, corvee. Meskipun semua itu merupakan persoal a n pe n t i n g y a n g m e n u n t u t penjelasan, namun yang akan diberi perhatian khusus dalam tulisan ini adalah tentang persoalan hak atas tanah pada abad ke-19 di Jawa umumnya dan di Priangan khususnya. Beberapa peneliti yang memberi perhatian terhadap persoalan ini di antaranya adalah Bergsma 1876, 1880, 1896, Rouffaer 1899-1905, 1918, C. Th. van Deventer, Van den Berg 1891, C. van Vollenhoven 1919, Robert van Niel 1992, dan Peter Boomgaard 1989. Nyatanya, tidak ada pandangan yang disepakati secara umum tentang masalah abad ke-19, tidak jelas konsep pemilikan tanah di Jawa. Lebih dari itu, sebelum tahun 1860 tidak ada yang sungguh-sungguh diketahui tentang hak orang terhadap tanahnya van Vollenhoven. 1919 48. Hak atas tanah merupakan subjek yang sangat kompleks karena terdapat variasi regional dan te r d a p a t n y a problem terminologi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sesungguhnya, agak sulit menyederhanakan formulasi tentang sist e m pe m i l ikan tanah di se l uruh Jawa. Kesulitan itu muncul karena ada sejumlah variasi dalam model pemilikan tanah, yang merefleksikan keragaman penekanan dan beragamnya model-model lokal. Juga sering terjadi perubahan di tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu, adalah logis bila ditemukan beragam ilustrasi pada model pemilikan tanah yang digambarkan oleh administrasi kolonial dan para peneliti. Di beberapa wilayah, pembagian tanah ter j adi dari tah u n ke tahun kare n a penanam yang sama; pada sisi lain, pembagian tanah berotasi di antara penduduk desa berdasarkan aturan yang jelas, sehingga masing-masing dapat memiliki bagian tanah yang baik dan jelek; di wilayah lain lagi, ada alternatif dalam pembagian tanah, sehingga seorang penanam cultivator mungkin memiliki akses atas tanah pada satu tahun, tapi kehilangan tanah pada tahun berikutnya karena beralih kepada orang lain. Ditemukan juga di beberapa tempat pemilik tanah mendapatkan pembagian Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3932011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah yang lebih luas dan berkualitas daripada yang lainnya. Di tempat lain, tanah dibagi secara rata di antara mereka yang berhak mendapatkannya. Di beberapa tempat lagi, pejabat desa mendapatkan jumlah tanah yang luas yang penggarapannya diserahkan kepada penduduk desa melalui sistem bagi hasil; di tempat lainnya petani dapat menjual tanahnya Elson, 1994 18-19. Ketidaksamaan pemilikan tanah dan variasi model pengalihan hak atas tanah mendorong peneliti untuk membagi masyarakat desa dalam beberapa kelas, yang secara umum terdiri atas dua kelompok, yaitu pendiri desa, kepala keluarga, atau mereka yang mendapatkan haknya atas tanah, dan mereka yang bergantung pada mereka. Yang pertama adalah pemilik tanah, mereka dikenakan pajak dan pelayanan, dan yang kedua orang-orang membantu mereka Elson, 1994 167. Dalam ide yang sama, Van den Bosch menyatakan bahwa pemilikan tanah merupakan hak kelompok tertentu dari penduduk desa itu, dan dibagi secara tidak merata, sementara itu ada kelompok penduduk yang lain dikeluarkan dari seluruh kep emi lik an dan bebas dar i pemilik s um s i y a ng p al i ng k ua t didasarkan pada sumber tradisi, bahwa semua tanah milik penguasa. Sumber tradisional abad ke-16, naskah Carita Parahiyangan, misalnya, secara implisit menekankan bahwa semua tanah milik penguasa dan kerabatnya. Rakyat hanya memiliki hak guna atas tanah. Sebagai kompensasinya, mereka diwajibkan tiap tahunnya menyerahkan persembahan baik dalam bentuk barang atau dalam pentuk pelayanan. Meskipun tidak ada data rinci tentang hak atas tanah pada periode selanjutnya, namun ada kesan bahwa pada masa yang selanjutnya petani penanam yang secara aktual mengarap tanah dapat mengalihkan hak guna atas tanah itu kepada orang lain, biasanya kepada ahli warisnya. Realitas semacam itu menjadi alasan bagi peneliti Belanda menyatakan hukum adat Indonesia sampai pada asumsi bahwa di Priangan tanah merupakan hak milik individu yang bisa diwariskan individual hereditary right. Meskipun asumsi bahwa penguasa adalah pemilik sejati atas semua tanah adalah semata-mata bersifat teoretis, tapi yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa penguasa berhak atas bagian dari hasil tanah, baik dalam bentuk uang, barang, atau tenaga. Sumber utama pendapatan penguasa datang dari tanah yang ditanami. Singkatnya, dikatakan bahw a pen guasa meru pakan pemi lik semua tanah yang darinya ia memperolah hasilnya dan pelayanan tenaga kerja. Mengidentifikasi pemilikan atas tanah dianggap penting pada pertengahan abad ke-19 ketika kapitalisme Belanda mengembangkan tahap di mana industrialisasi dapat dikerjakan di tanah jajahan. Fisibilitas itu sebagian didukung oleh pasar dunia atas produk-produk daerah tropis yang mengalami booming, sehingga di Negeri Belanda muncul tekanan dari kelompok Liberal untuk menghapuskan sistem lama. Manajemen kolonial konservatif yang berlaku sepanjang Sistem Tanam Paksa diganti dengan kolonisasi Jawa oleh penanam swasta private planters, yaitu mengubah kebijakan kolonial dengan menempatkan perkebunan swasta sebagai inti manajemen atas Jawa. Kelompok Liberal menuntut aturan hukum dalam kebijakan tanah, sehingga penanam swasta diberi 394Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkebebasan menggunakan tanah diakui sebagai pemilik tanah, penggarap tanah orang pribumi bisa menjual atau menyewakannya, dan di tanah milik negara atau tanah liar pengusaha swasta diizikan untuk menggunakannya dalam waktu yang cukup lama dengan cara menyewa erfpacht. Kelompok Konservatif menolak usulan itu dengan beberapa alasan hak orang Indonesia atas tanah adalah di bawah pribumi, komunal dan hukum adat, sehingga tidak cocok digunakan konsep pemilikan seperti dipahami di Barat modern Kano, 1977 4-5. Untuk mengakhiri kontroversi itu dan melahirkan kebijakan yang memuaskan kedua pihak, Liberal dan Konservatif, dianggap perlu meneliti dan menemukan hak yang benar yang secara aktual dipraktikkan oleh orang Indonesia atas tanahnya1 Berdasarkan hasil survey itu beberapa informasi tentang bentuk penggunaan tanah yang dapat ditanami arable land dan pemilikannya dapat jelas diketahui. Tanah yang dapat ditanami terdiri atas dua bagian sawah paddy elds dan ladang dry elds; sedangkan yang berkait dengan kepemilikan, sawah terdiri atas tiga bentuk, yaitu milik individu yang bisa diwariskan heritable individual possession, erfelijk individueel bezit, milik komunal communal possession, gemeen bezit, dan tanah jabatan salary fields for officials, ambtsvelden; sementara tanah kering 1 Survey ini dilakukan atas perintah Raja yang dituangkan dalam the King’s Proclamation of 1866 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bertururt-turut dikeluarkan dua undang-undang East India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. Bentuk pertama, pemilikan sawah, adalah pemilikan individual yang bisa diwariskan, yaitu bentuk tanah di mana individu tertentu menggarapnya secara terus-menerus; ia dapat memindahtangankan tanah itu kepada ahli warisnya atau kepada orang lain. Prinsipnya adalah semua anak memiliki hak atas sebagian tanah itu sebagai warisan, sehingga dengan demikian tanah bisa terbagi-bagi menjadi sangat sempit extremely small parcels Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Sangat tipikal, tanah itu dapat dengan bebas pindah kepemilikan baik karena dijual, disewakan, atau digadaikan. Istilah pribumi atas tanah yang dapat disewakan heritable individual possession adalah dalam bahasa Jawa umumnya disebut jasa. Di Jawa Barat, khususnya Priangan disebut Jasa mengacu pada hak yang diperoleh karena jasa. Dengan kata lain, istilah jasa mencakup tiga konsep pengerjaan membuka tanah liar laboring to clear waste land, pihak yang secara aktual mengontrol dan menggarap tanah, dan hak penggarap atas tanah dengan tanpa pemisahan makna di antara kedua hal itu. Sementara itu, istilah milik berarti lebih dekat dengan konsep modern tentang pemilikan. Dalam beberapa kasus, pemilik adalah orang yang secara aktual membuka tanah untuk ditanami. Tanah itu dimiliki 2 Dalam bahasa Jawa, jasa secara etimologis berarti ”everything that is obtained by the effort of individuals who bring waste land under cultivation“; sementara milik, berasal dari bahasa Arab milk, dalam bahasa Sunda digunakan dalam pengertian “to possess”, atau “to be made one’s own”, lihat Eindresume II, hal. 44.; Hiroyoshi Kano, op. cit., hal. 12.dry elds hampir selalu dianggap milik pribadi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3952011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungoleh orang yang membukanya. Jadi, pemilikan individu yang bisa diwariskan the heritable individual possession adalah hanya hak pemilik atas tanah didasarkan atas kontrol aktual. Model kepemilikan individual seperti itu sudah lama berlangsung di Priangan. Pemilik tanah individual dapat menggarap sendiri tanahnya, atau menyewakannya kepada orang lain secara bagi hasil Boomgaard & van Zanden. 1990 22.Dari total 105 desa yang disurvey di Priangan, 101 desa di antaranya atau 96% merupakan tanah sawah yang merupakan hak milik. Bila dibandingkan dengan keresidenan lain di Jawa, pada saat yang sama, di Keresidenan Semarang total sawah milik individu hanya 10% dan di Keresidenan Surabaya adalah 39%. 3 Menarik diketahui alasan mengapa di Priangan hak individu atas tanah sangat dominan. Apakah karena pengaruh Islam yang cukup kuat. Bukan tempatnya di sini untuk mengeksplorasi apakah hak individu yang dominan di Priangan memiliki kaitan dengan kuatnya pengaruh Islam. Namun demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara hak penguasa lokal atas tanah dan atas upeti sudah terbangun, dan hak atas tanah diabadikan dalam bentuk yang lebih kuat. Di bagian lain di Nusantara, termasuk Priangan, pengaruh Islam lebih kuat dan dapat menjadi instrumen dalam perluasan hak individual Einsresume II 44-45.Bentuk yang kedua, pemilikan secara komunal, adalah bentuk di mana seorang individu menggunakan tanah tertentu yang hanya bagian tanah komunal desa, sehingga individu tidak berhak memindahtangankan tanah itu. 3 Dihitung dari Eindresume I, bijlage pemilikan ini memiliki dua tipe, distribusi periodik dan non-periodik. Distribusi periodik adalah kepala desa dapat mendistribusikan tanah itu tiap tahun di antara penduduk desa yang berhak mendapat bagian tanah itu. Distribusi non-periodik adalah tanah yang dimiliki secara komunal dapat juga dikuasai di bawah sistem pembagian yang ditetapkan, tapi pemilik tidak dapat menjual atau memberikannya kepada pihak lain Boomgaard & van Zanden, 1990. Dari total desa di Priangan yang disurvey, tidak ada sama sekali tanah komunal,4 sedangkan di Semarang dan Surabaya terdapat 90% dan 70% tanah Jenis pemilikan komunal ini merupakan bentuk umum yang berlaku di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Di Jawa Tengah pemilikan semacam ini ada dua jenis, yaitu di keresidenan sebelah timur umumnya tanah komunal periodik, sedangkan di keresidenan sebelah barat umumnya tanah komunal yang ditetapkan xed Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Di beberapa daerah di Jawa Tengah bagian selatan sistem yang khusus berlaku, karena, pertama semua tanah miliki penguasa sultan dan sunan, yang selama berabad-abad memberikan garapan tanah, apanage, kepada pegawai dan kerabatnya; kedua, petani kehilangan hak permanen dan hanya menggarap tanah penguasa berdasarkan peraturan share-cropping, dan pengawasan serta pengumpul hasil 4 Di tempat lain di Jawa Barat, terutama di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah, jenis tanah komunal terdapat juga, seperti di Ciamis, Kuningan, Cire-bon, Indramayu, dan Majalengka; lihat Edi S. Ekadjati, 1995 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. 396Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungpanen langsung dilakukan oleh pihak penguasa Svensson, 1983 85. Komunalisasi tanah secara sistematis mendapat perhatian Pemerintah Kolonial karena berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang melekat pada penggarap tanah. Penggarap aktual atas tanah memiliki kewajiban untuk menyerahkan pajak dan pelayanan. Pada masa pemerintahan Interregnum Inggris, dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda, ide bahwa sawah adalah milik komunal tidak hanya sesuai dengan ide mereka tentang “negara adalah pemilik sejati atas tanah”, tapi juga bersesuaian dengan keinginan mereka untuk memelihara dan menjaga pemungutan sewa tanah Land Rent dan distribusi tenaga buruh sesederhana pemerintah terhadap klaim bahwa seluruh tanah adalah milik negara dinyatakan pada, paling tidak, tiga aturan perundang-undangan. Klaim seperti itu membuat pemerintah memiliki otoritas untuk mengatur distribusi tanah baik komunal maupun individual. Dalam ayat 74 Undang-Undang Tahun 1830 dikatakan bahwa “the lands of the island of Java, which are still owned by the government, shall, insofar as they are cultivated by the Javanese, be permanently leased to the native people”. Pernyataan yang sama dinyatakan pada ayat 62 Undang-Undang Tahun 1836 tahun 1854 bahwa “lands cultivated by the Javanese, with the exception of the so-called Private Estates, were the property of the state”. Begitu juga dalam Undang-Undang Agraria Tahun 1870 disebutkan bahwa “the Government as the lawful successor of the native rulers is, according to custom, the supreme proprietor of all lands, cultivated or not” Boomgaard and van Zanden, 1990 22; Fasseur, 1992 30-31. Pernyataan-pernyataan undang-undang tadi menjadi dasar bagi pemerintah untuk menarik pajak dari tanah jabatan ambtsvelden adalah tanah sawah yang diberikan kepada pejabat, baik pemimpin pribumi seperti bupati dan kepala distrik maupun kepala desa atau pegawai desa. Tanah jabatan lungguh dan bengkok dalam bahasa Jawa, atau carik dalam bahasa Sunda kepala desa atau pejabat di bawahnya ditemukan di hampir seluruh desa di Keresidenan Cirebon, di seluruh keresidenan di Jawa Tengah, di seluruh keresidenan di sebelah barat Pasuruan di Jawa Timur. Namun, di empat keresidenan di Jawa Barat, kecuali Cirebon, dan seluruh keresidenan sebelah timur Probolinggo di Jawa Timur tidak seluruh desa memiliki tanah jabatan. Dari total desa di Priangan yang disurvey hanya ditemukan 5% tanah jabatan, sedangkan di Semarang 84% dan Surabaya 77%.6 Distribusi tanah jabatan hampir bersesuaian dengan pemilikan tanah komunal. Di hampir seluruh desa yang berlaku pemilikan tanah komunal, jenis pemilikan tanah jabatan pun berlaku luas. Pemilikan tanah individual, kumunal, dan jabatan hanya berlaku untuk tanah sawah; sedangkan tanah kering seperti tipar, huma, halaman, kebun hampir merup aka n h ak milik pribadi. Dalam kasus Priangan, dari 105 desa yang disurvey terdapat hanya 15 desa tanpa tanah kering. Jadi, 90 desa 6 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3972011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungmemiliki lahan kering, dan semuanya merupakan hak milik hasil survey yang disponsori oleh pemerintah itu relatif sama dengan survey yang dilakukan oleh para peneliti. Van Deventer, misalnya, mengatakan bahwa selama masa VOC, kemudian Pemerintah Hindia Belanda, raja-raja Jawa adalah pemilik semua tanah. Hak yang dialihkan kepada Kompeni maupun Pemerintah Hindia Belanda merupakan akibat dari perjanjian-perjanjian dan perebutan seizures. Pandangan seperti itu diterapkan juga oleh Pemerintah Interim Inggris 1811-1816, sehingga pajak atas tanah diterapkan land rent/landrente Bomgaarod & van Zanden, 1990 21. C. van Vollenhoven menegaskan bahwa desa Jawa merupakan pusat area kontrol petani agrarische beschikkingskring. Termasuk dalam hak kontrol desa adalah hak milik atas tanah penduduk pribumi tertentu secara individu. Hak ini didasarkan pada pembuka pertama tanah rst reclamation of the land dan bisa mewariskan serta tanah, dikaitkan dengan kepentingan rumah tangga petani, terdiri atas tiga kategori utama, yaitu tanah yang dapat ditanami arable, tanah yang sudah ditanami cultivated, dan tanah liar wasteland.8 Namun, di antara 7 Eindresume, I, bijlage A, pp. 6-10; Di tanah kering tidak dimasukkan kopi dan kebun Sumber-sumber arsip, khususnya Pri-angan, membagi kegunaan tanah ke dalam 10 kategoriyaitu halaman, sa-wah, tegal, kolam vischvijver, hutan nipah nipa boschen, kebun sirih sirih tuinen, kebun kelapa klapper tuinen, kebun bambu bamboo tuinen, kebun lainnya, dan kopi; lihat Preanger 6/12, yang tiga itu, tanah yang dapat ditanami arable land yang sangat problematik; karena ia sangat dekat dengan kebutuhan hidup petani dan pada saat yang sama sangat berkaitan dengan proyek-proyek pertanian kolonial. Arable land sendiri terdiri atas sawah dan tanah kering. Tingkat ketersediaan air berpengaruh terhadap tipe sawah. Pada abad ke-19 tidak kurang dari 9 kategori sawah, yaitu sawah loh1. , sawah dengan suplai air yang mengalir,sawah cengkar2. gares, tanah yang kurang subur karena kurang suplai air,sawah3. rawa, sawah di tanah berpaya-paya,sawah4. banarawa, sawah di tanah berpaya yang biasa mengering bila musim kemarau,sawah5. ilir, sawah dengan suplai air sepanjang waktu,sawah6. tadah hujan, sawah yang hanya berair di musim hujan,sawah7. buntar, sawah yang sangat jauh dari sumber air,sawah8. tumpang, sawah yang terletak pada sumber air Bottema, 1995 51. Klasifikasi di atas meliputi tiga situasi yang berbeda secara esensial, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan rain-fed sawah dan saw ah berpaya swampy sawah. Sementara itu, tanah kering memiliki dua kategori, yaitu tipar dan huma tegal dan gaga, bahasa Jawa. Jenis tanah yang ditanami cultivated area , t ap i t i d a k dikelompokkan sebagai arable land, terdiri atas dua jenis yaitu kebon Algemeen Verslag 1876. 398Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandunggarden atau orchard dan pakarangan compounds.Tanah liar, termasuk hutan, adalah penting bagi kehidupan ekonomi petani. Hutan dipenuhi banyak jenis pohon yang menyediakan tidak hanya bahan makanan dan minuman tapi juga untuk yang lainnya, seperti rotan, bahan-bahan untuk tenun, pohon aren, lontar, gebang, alang-alang, dan tahun 1876 proporsi penggunaan tanah di Priangan di luar tanah liar secara umum adalah sebagai berikut halaman compound 5,35%, sawah 56,95%, tanah kering tegal 28,39%, kebun 9,31%. Termasuk ke dalam sawah adalah sawah irigasi, tadah hujan dan berpaya; dan kebun di sini termasuk kolam ikan shpond, kebun nipah, kebun sirih, kebun kelapa, kebun bambu, kebun kopi, dan Dalam hal penggunaan tanah yang ditanami padi di tiap-tiap kabupaten di Keresidenan Priangan secara umum diperoleh gambaran sebagai berikut. Kabupaten Bandung seluas bau, Sukapura bau, dan Cianjur bau. Namun demikian, berdasarkan pada kategori arable land, sawah irigasi lebih banyak ditemukan di Kabupaten Bandung, yaitu seluas bau, sawah tadah hujan di Kabupaten Sukapura seluas bau, sawah berpaya di Kabupaten Sumedang seluas bau, dan tegal di Kabupaten Sukapura seluas bau Preanger 6/12, 1876. Dari waktu ke waktu luas tanah yang dimanfaatkan selalu berubah berkaitan dengan perubahan fungsi dan 9 Kebun kopi di sini di luar tanaman kopi pemerintah; artinya kopi ditanam oleh petani pada tanah miliknya sendiri ber-dasarkan keinginan mereka. reklamasi tanah baru, baik sawah maupun tanah kering. Dibandingkan luas total tiap kabupaten dengan luas tanah yang ditanami dapat ditemukan sisa tanah yang termasuk tanah yang digunakan untuk menanam tanaman TABEL IIIPEMANFAATAN TANAH DI PRIANGAN 1878Catatan* tidak termasuk gunung dan sungai. Data diolah dari Priangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. **Data diolah dari Algemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RI.*** termasuk tanah yang digunakan untuk tanaman kopi, teh, dan tanah terdapat data kuantitatif tentang tanah milik individu dan berapa luasnya. Namun demikian diasumsikan bahwa ada dua titik ekstrem pemilik tanah, yaitu tuan tanah landlords dan tidak memiliki tanah landless. Di antara dua titik ekstrem itu terdapat pemilik 10 Administrasi kolonial, yang biasanya melalui the Cultivation Reports menye-diakan data yang lengkap untuk tana-man tebu dan indigo, tidak pernah me-nyebutkan berapa luas bau tanah yang digunakan untuk tanaman TOTAL*TANAH DIGUNAKAN UNTUK**bau SISA***bau1Halaman Sawah Tegal Kebun SubtotalBandung 965 64562 393 33661 116 984 11690 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3992011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah dengan luasan yang bervariasi yang umumnya tidak terlalu PENUTUPPriangan abad ke-19 bukan lagi issue lokal, tapi sudah masuk orbit persoalan regional, bahkan internasional. Semua itu terjadi karena komoditas yang dihasilkan Priangan yang laku di pasar internasional. Nila, kopi, teh, dan kina merupakan empat produk unggulan yang berasal dari Priangan pada abad ke-19, di samping produk lainnya yang masuk kategori bukan produk unggulan minor crops, seperti katun, murbai sutra, cengkih, lada, tembakau, dan sebagainya. Optimasi produk komoditas itu sangat mungkin terjadi berkat rekayasa pemerintah kolonial terhadap aspek sosial, politik, dan pertanahan di wilayah Keresidenan Priangan dan di daerah-daerah SUMBERAlgemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RIBersma. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. 3 volumes Batavia 1876. 1880. 1896. Boomgaard. Peter. 1989. Between Sovereign Domain and Servile Tenure The Development of Rights to Land in Java 1780-1870. Amsterdam Free University P. & van Zanden. 1990. “Food Crops and Arable Lands. Java 1815-1942”. in Changing Economy Indonesia. vol. 10. Amsterdam Royal Tropical Institute. Bottema. Jan Willem Tako. 1995. Market Formation and Agriculture in Indonesia from the Mid 19th Century to 1990. Doctor Dissertation at the Katholieke Universiteit Nijmigen. Jakarta Drukkerij Desa India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. specifying details. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. Zamengesteld door den Chef der Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie. Eerste Gedeelte. Batavia – Ernst & Co.. 1876. bijlage A. Ekadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka Locher-Scolten. 2000. “De kolonie verhouding in de 19e en 20e eeuw“. Spiegel historical. Vol. 35. no. 11-12; hlm. 1994. Village Java under the Cultivation System 1830-1870. Sydney Allen and Unwin. 400Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungEncyclopadie van Nederlandsch-Oost Indie. 1st edition. vol. 3. hlm. Vincent. 1999.“Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state”. in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history of Indonesia. 1800-2000. Penultimate Draft. Passau; hlm. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo- Japan Insitute of Developing Economies. Kartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung Pusat Informasi Kebudayaan 1923. Bab a d R ade n A d i pat i A r i a Martanegara. Bandung “Maten en Gewichten van Nederlandsch Oost-Indie“. Handboek voor Cultuur en Handels-Ondernemingen in Nederlandsch Indie. 1914. ”Oekoeran dan Takaran. Timbangan. Mata Oeang“. Taman Pangajar. Pijper. 1977. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950 terjemahan. Jakarta Universitas IndonesiaPriangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. Preanger 6/12. 1876Rouffaer. 1899-1905. “Vorstenlanden” in Encyclopaedie van Nederlandch-Indie. vol. IV. ’s-Gravenhage/Leiden. hlm. 1918. “De agrarisch rechtstoestand der inlandsche bevolking op Java en Madoera.” BKI 74 1918. hlm. 305-98; Svensson. Thommy. 1983. “Peasants and Politics in Early Twentieth-Century West Java”. in Thommy Svensson and Per Sorensen eds.. Indonesia and Malays; Scandinavian Studies in Contemporary Society. London and Mamo Curzon Press. hlm. Thommy. 1992.“State Bureaucracy and Capitalism in Rural West Java in the 19th and 20th Century”. in Bernhard Dahm ed. Regions and Regional Developments in the Malay-Indonesian World. Th. V. 4. 15 October 1903. hlm. Leslie H. status and power in Java. New York Humanities Otto Harrassowitz; hlm. den Bosch. „Verslag mijner verrigtingen“. hlm. 423 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.4012011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungvan den Berg. “Het eigendomsrecht van den staat opden grond op Java en Madoera”. BKI 40 1891. hlm. 1-26; van Meerten. Henry Charles. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Niel. Robert. 1992.„Rights to Land in Java“. in Robert van Java under the Cultivation System; Collected Writing. Leiden KITLV Press. hlm. Rees. 1869 Rees. Otto van. 1869. Overzigt van de geschiedenis der Preanger regentschappen. Batavia Vollenhoven. C. 1919. De Indonesier en zijn Grond. Leiden Brill;Zakaria, Mumuh Muhsin. 2010. Priangan Abad ke-19 dalam Arus Dinamika Sosial-Ekonomi. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Bandung Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ... Dengan semangat interseksionalitas dalam feminisme, pemikiran dan gerakan para "feminis lokal" ini perlu disuarakan kembali demi mencapai feminisme yang relevan bagi setiap perempuan dalam bentang geografi politik tertentu. Penelitian etnografi pada tahapan akhir akan melalui suatu proses evaluasi, yang pertimbangannya didasarkan pada kontribusi substansial penelitian, tingkat estetika penulisan, tingkat faktualitas dan dampak yang bisa diberikan Spradley, 1979Spradley, , 1980 Perhatian ini tidak terlepas dari posisi Cianjur yang ketika itu merupakan pemasok salah satu komoditas kopi nomor satu di Jawa Barat 11 Zakaria, 2011c Breman, 2014;Herlina et al., 2018;Lasmiyati, 2015. 22 Uga merupakan suatu tradisi lisan di kalangan orang Sunda yang dipercaya sebagai "bisikan gaib" dari para karuhun nenek moyang, yang mana biasanya muncul ketika terdapat perubahan-perubahan tertentu di kalangan orang Sunda a new life movement. ... Muhamad AlnozaRaden Ayu Tjitjih Wiarsih, also known as Juag Tjitjih, was a figure in the early 20th century women's movement from Cianjur Regency, West Java. The existence of this character in Cianjur cannot be separated from a cultural heritage building called Bumi Ageung, where this house is the residence of Juag Tjitjih and her family and descendants. This research is generally carried out to answer problems, regarding the form of collective memory that is still being taught by the inhabitants of Bumi Ageung regarding Juag Tjitjih. The problem of this research is also related to other problems that are trying to be answered, namely regarding the background of the formation of the collective memory of Juag Tjitjih so that it is shaped in such a way. The main objective of this research is to find out how the leaders of the women's movement in Tatar Sunda are remembered by the community, in this case one of them is Juag Tjitjih. This study thus uses a qualitative method, in which the data collection method is carried out by participant observation and indepth interviews. At the analysis stage, this study adopts the deconstruction analysis method initiated by Jacques Derrida. The research ultimately found that Juag Tjitjih was remembered as a different figure from mainstream identity in Tatar Sunda in the 20th century. This negation between Juag Tjitjih and the soul of the Cianjur people's era is seen as having several paradoxical aspects in the narration, so that it is suspected that there has been a phenomenon called by Eric Hobsbawm as the invention of tradition. Mumuh Muhsin ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan moment penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Hal tersebut tidak serta-merta mematikan aktivitas perekonomian dan pertanian subsitem penduduk Priangan. Malah yang terjadi adalah hubungan komplementer antar-keduanya. Hal ini dimungkinkan selain karena faktor geografis-ekologis yang kondusif juga karena jenis tanaman yang diusahakan dan jenis tanah yang digunakan tidak menyaingi sektor ekonomi pertanian. Peran elit lokal sangat besar dalam menciptakan keseimbangan dan harmonisasi relasi antar penduduk pribumi, pemerintah kolonial, dan elit lokal sendiri yang pada gilirannya berpengaruh terhadap peningkatan produk dan terciptanya suasana aman. Fakta historis yang ditemukan di Priangan menjadi indikator penting yang menjelaskan derajat relatif kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian yang saya lakukan ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kata Kunci Sejarah, Priangan, Ekonomi, van der KraanR. E. ElsonPart 1 The social and economic context peasant society and economy in early 19th-century Java changing state, changing village. Part 2 The elements of the cultivation system the introduction and consolidation of the cultivation system crisis in the cultivation system reform and decline. Part 3 The cultivation system and social change the transformation of village institutions changing labour relations domestic cropping under the cultivation system trade and industry population growth and movement prosperity, poverty and Sunda Suatu Pendekatan SejarahEdi S EkadjatiEkadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i aHoubenJ H VincentHouben. Vincent. 1999. "Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i a. 1 8 0 0 -2 0 0 0. Penultimate Draft. Passau; hlm. Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century JavaKanoHiroyoshiKano. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo-Japan I n s i t u t e o f D e v e l o p i n g Adil. Jakarta Sinar HarapanKartodirdjoSartonoKartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Harapan.
PenataanSistem Tenurial atas Sumber Daya Agraria di Provinsi Sulawesi Senthot Sudirman. 65-83 Kajian Upaya Pengendalian Penggunaan Tanah di Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah, Slamet Muryono. 84-101 Assessment Sales Ratio, Suatu Alat Pengukur Kinerja Penetapan NPOP (Studi di Desa Ambarketawang, Sleman), Asih Retno Dewi Authors Irsal Marsudi Sam Setiowati Setiowati Rakhmat Riyadi DOI Abstract Abstract Most of the land beach border Village Bintarore has been controlled and owned by the community. The purpose of this research are 1 to know the kind of land tenure, land ownership, land use and land utilization; 2 Land Office Policy in Bulukumba Regency granting land rights; 3 the suitability of the land use and land utilization with RTRW. The research was conducted using qualitative methods for data analysis, survey and interview methods for data collection and the use of the census method. Based on the results of the study are known 1 land on the beach border Village Bintarore is controlled by the Government, the public and legal entities. Types of landholdings consists of State land and land ownership rights. Type of land use consists of the use of the open land for housing, services, government agencies, religious services, rental services, workshop, warehousing, graves, sports field, industry, trade and services mix. Land utilization type consists of utilization as a place of residence, mix, economic, social, agricultural and not utilized; 2 Bulukumba District Land Office do policies to keep providing land rights in the area of the border of the Bintarore Village beach, 3 there are 87,19% mismatch between the use and utilization of land at Bintarore Village beach border with IP4T, RTRW, beach Sebagian besar tanah sempadan pantai Kelurahan Bintarore telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat. Tujuan penelitian untuk mengetahui 1 Jenis penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 2 Kebijakan Kantor Pertanahan Kabupaten Bulukumba dalam pemberian hak atas tanah; 3 Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan RTRW. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei dan wawancara serta menggunakan metode sensus. Berdasarkan hasil penelitian diketahui 1 Tanah di sempadan pantai Kelurahan Bintarore dikuasai oleh pemerintah, masyarakat dan badan hukum. Jenis pemilikan tanah terdiri dari tanah negara dan tanah hak milik. Jenis penggunaan tanah terdiri dari penggunaan untuk perumahan, tanah terbuka, jasa instansi pemerintah, jasa peribadatan, jasa sewa, perbengkelan, pergudangan, kuburan, lapangan olahraga, industri, jasa perdagangan dan kebun campuran. Jenis pemanfaatan tanah terdiri dari pemanfaatan sebagai tempat tinggal, campuran, ekonomi, sosial, pertanian dan tidak dimanfaatkan; 2 Kantor Pertanahan Kabupaten Bulukumba melakukan kebijakan untuk tetap memberikan hak atas tanah di kawasan sempadan pantai Kelurahan Bintarore 3 Terdapat 87,19% ketidaksesuaian antara penggunaan dan pemanfaatan tanah di sempadan pantai kelurahan Bintarore dengan Kunci IP4T, RTRW, sempadan pantai. Downloads Download data is not yet available. Author Biographies Irsal Marsudi Sam Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Setiowati Setiowati Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Rakhmat Riyadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional References Harsono, B 1997, Hukum agraria indonesia sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Limbong, B 2014, Politik pertanahan, Pustaka Margaretha, Jakarta. Parlindungan, AP 1991, Berakhirnya hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA, CV Mandar Maju, Bandung. Puspasari, S & Sutaryono 2017, Integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang, STPN Press, Yogyakarta. Santoso, U 2010, Hukum agraria dan hak-hak atas tanah, Prenada Media Group, Jakarta. Wiradi, G 1989, Masalah tanah di Indonesia, Bharata, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 21 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bulukumba. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 7 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2022. How to Cite Sam, I. M., Setiowati, S., & Riyadi, R. 2020. Analisis Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah di Sempadan Pantai di Kelurahan Bintarore. Tunas Agraria, 32, 122–139.
YOGYAKARTA Kasus kepemilikan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mencuat setelah Handoko, seorang warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta atas Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.
Kali ini saya akan memposting aartikel tugas kuliah semester 2 pada mata kuliah struktur masyarakat Jawanmengenai perubahan yang ada di masyarakat Jawa Yuk, langsung saja membaca dan memahami isi artkel dibawah ini Jawa merupakan sebuah pulau yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat tinggi, sehingga tak heran jika berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia sangat antusias untuk datang ke pulau jawa dengan tujuan dapat ikut menikmati hasil pertanian dari tanah yang sangat subur atau sering disebut oleh orang jawa dengan sebuah istilah “gemah ripah loh jinawi”. Di pulau Jawa berbagai jenis tanaman dan tumbuhan dapat ditanam dan mudah untuk ditemukan, hal ini ditentukan oleh tekstur tanah dipulau jawa yang tergolong sangat subur sehingga kekayaan alam yang dimiliki pulau Jawa sangat menarik perhatian bangsa penjajah untuk berusaha ikut menikmati bahkan mereka berkeinginan untuk memilki dan memonopoli semua hasil kekayaan alam yang ada di pulau Jawa. Salah satu bangsa yang ingin menjajah hasil bumi orang jawa yaitu bangsa eropa, kedatangan bangsa eropa di Jawa menyebabkan bertemunya dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan Timur dan Barat yang mempunyai struktur sosial berlainan. Akibat pertemuan dua bangsa itu kebudayaan terkena pengaruh kebudayaan Barat yang sangat besar. Bangsa Eropa atau yang sering disebut dengan Kompeni Hindia Timur mula-mula hanya ingin menguasai perdagangan hasil bumi dan bukan politik. Namun dalam upaya mengamankan kepentingan ekonominya, kompeni terlibat dalam kesukaran dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Maka dari itu kompeni mampu menguasai daerah-daerah di sepanjang pesisir utara pulau jawa. Dengan demikian sistem pemerintahan kerajaan sepenuhnya berada ditangan kompeni, yang kemudian bupati tidak lagi dipilih secara langsung oleh raja tapi dipilih oleh kompeni dan penyerahan hasil bumi yang wajib dapat ditagih langsung dari bupati. Penyerahan hasil bumi yang wajib dilaksanakan tersebut diberlakukan secara sistem foedal. Akibat dari adanya sistem ini adalah kesejahteraan rakyat yang rendah. Oleh karena itu, masyarakat dipulau jawa mengalami perubahan-perubahan sosial yang merupakan pengaruh dari adanya pertemuan budaya barat dan timur yang terjadi pada saat itu hingga saat ini pengaruh budaya barat terhadap masyarakat jawa semakin tinggi. Bangsa kompeni menerapkan berbagai monopoli pertanian terhadap masyarakat jawa antara lain “tata bumi” pada saat mas pemerintahan Raffles dari Inggris. Kemudian dalam pemerintahan Van Den Bosch ia menerapkan sistem “tanam paksa” yang menghendaki agar penduduk jawa tetap menjadi petani. Sistem tanam paksa telah membawa pengaruh modernisasi yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan sosial terhadap masyarakat adanya sistem monopoli yang diterapkan oleh bangsa kompeni tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sosial didalam masyarakat jawa diantaranya yaitu munculnya diferensiasi sosial dan sistem kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi adalah munculnya 1 golongan petani kaya-pemilik tanah lapisan atas, yang berhak mendapatkan tenaga kerja cuma-cuma; 2 petani bebas yang diharuskan kerja wajib; dan 3 golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah. Diferensiasi yang terjadi ini mengakibatkan pola atau sistem ekonomi pertanian masyarakat Jawa juga berubah. Dalam relasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara kaum pemilik tanah modal dengan tenaga kerja buruh tani. Para petani dengan modal tanah yang dimiliki membutuhkan tenaga kerja untuk menggarap lahannya. Sedangkan, para petani buruh tergantung pada para pemilik tanah untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual tenaga kerjanya. Dengan demikian Jawa mulai memasuki era kapitalisme. Dinamika khas dari kapitalisme adalah persaingan dan perolehan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa mengawali munculnya sistem kapitalisme pertanian yang ada di Jawa. Diferensiasi sosial semakin lebih besar ketika dilaksanakannya sistem tanam paksa. Ketentuan dalam sistem tanam paksa membuat posisi pejabat pedesaan semakin kuat posisinya. Kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar. Seperti diketahui para kepala desa maupun anggota pemerintahan desa lainnya mendapatkan tanah bengkok yang luas dan subur dan dibebaskan dari kerja rodi. Pengertian Perubahan Sosial dikemukakan oleh Gillin dan Gillin yang mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat Soekanto, 2006263. Dari pengertian perubahan sosial yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin ini menunjuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, yang berarti dalam penjabaran kali ini aspek sosial tersebut yang menyebabkan perubahan kelas sosial didalam bidang pertanian masyarakat jawa. Perubahan sosial adalah suatu pergeseran dalam ciri kebudayaan dan masyarakat. Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Perubahan sosial pada masa tertentu juga merupakan pengaruh dari peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun atau zaman sebelumnya. Di Jawa sebenarnya yang terjadi adalah proses evolusi pertanian dengan ditandainya diferensiasi sosial yang terjadi. Hal ini nampak dalam pola perekonomian masyarakat yang tradisional-homogen ke bentuk kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi di Jawa juga menjadi penanda adanya perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Modernisasi yang terjadi di Jawa tentu tak lepas dari proses penemuan teknologi pertanian yang membuat proses produksi makin efisien. Modernisasi pertanian di Jawa yang ditampakkan dalam program revolusi hijau, membawa pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat bagi petani yang memiliki banyak tanah karena sasaran dari moderninasi hanya petani kaya yang memiliki tanah. Hal ini semakin memperbesar terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa. Selain itu penciptaan sosial, dalam hal ini kapitalisme, juga terjadi di Jawa. Kapitalisme membuat pola dan sistem pertanian berubah dari sistem tradisional-homogen kebersamaan sosial dan ekonomi ke sistem pemilikan tanah secara pribadi yang memunculkan kelompok golongan petani atas dan proletar petani tak bertanah. Selain membahas perubahan kelas sosial dalam bidang kepemilikan tanah setelah ini penulis juga akan membahas perubahan sosial dalam aspek adat dan sopan santun yang tergambarkan pada penggunaan bahasa jawa dalam masyarakat sopan santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Adat ini berhubungan dengan etika dan tatakrama Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering didengar dan digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan pengguna bahasa Jawa tersebut. Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa yang tertinggi salah satunya adalah bahasa Jawa Kromo Inggil. Tingkatan ini biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, misalnya seorang anak ke orang tuanya. Bahasa Jawa Kromo Inggil digunakan dengan tujuan untuk menghormati orang yang lebih tua. Namun penggunaan bahasa jawa khususnya bahasa krama inggil telah mengalami perubahan dari tuntutan etika masyarakat jawa, pada sat ini telah banyak ditemukan anak muda yang berkomunikasi tidak mengguanakan bahasa jawa krama inggil dengan orang yang usianya lebih tua. Bahkan pada saat ini jarang sekali anak-anak yang berkomunikasi dengan orang tua mereka menggunakan bahasa krama inggil, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut karena adanya pergeseran nilai yang diajarkan orang tua terhadap anak tersebut. Para orang tua jawa jaman sekarang sudah jarang yang menanamkan nilai adat kesopanan yang sepantasnya dimiliki oleh orang jawa yang penggunaan bahasa krama inggil diterapkan dalam percakapan sehari-hari antara seorang anak dengan orang tua, sehingga nilai tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki anak tersebut ketika berkomunikasi dengan orang yang memiliki usia lebih tua. Selain itu faktor yang mempengaruhi yaitu adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat yang membawa dampak buruk terhadap anak-anak jaman sekarang yang belum mampu memfilter berbagai informasi yang seharusnya ditiru dan mana yang tidak pantas untuk ditiru. Dalam perubahan sosial yang berkaitan dengan sopan santun khususnya penggunaan bahasa tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan formal yang saat ini sebagian besar lembaga pendidikan formal dipulau Jawa telah menerapkan penggunaan bahasa nasional bahkan ada beberapa lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan bahasa internasional yaitu bahasa inggris sebagai bahasa pengantar mereka didalam media pembelajaran. Lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan penggunaan bahasa nasional maupun internasional tersebut biasanya kemudian mengenyampingkan atau bahkan melupakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Jawa. Saat ini sudah banyak ditemukan lembaga pendidikan yang menghilangkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa untuk menjadi mata pelajaran yang seharusnya dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Apalagi pada saat ini adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan para siswa untuk mempelajari bahasa internasional agar nantinya para pelajar tersebut dapat bersaing didalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean atau yang sering kita dengar dengan sebutan MEA. Hal tersebut tentunya akan mendesak berkurangnya penggunaan dan pengajaran bahasa Jawa didalam lingkungan pendidikan formal. Sehingga masyarakat jawa pada saat ini sudah jarang yang menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa yang sesuai didalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan Sosial dalam masyarakat Jawa yang selanjutnya adalah adanya perubahan Pola perilaku dan pola pikir yang sudah memiliki perubahan yang cukup signifikan antara pola pikir dan pola perilaku yang dimiliki masyarakat Jawa dahulu dengan masyarakat Jawa saat ini. Faktor yang paling berpengaruh dengan adanya perubahan ini adalah faktor teknologi dan masuknya budaya asing mampu merubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Jawa khususnya bagi para remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Mereka cenderung akan mengikuti berbagai trend yang sedang berkembang tanpa berpikir dampak negatif yang diperoleh dari adanya trend gaya hidup baru tersebut. Anak remaja sekarang memilki pola pikir dan pola perilaku kalau tidak mengikuti mode sekarang adalah remaja kuno, namun pemikiran mereka dan kelakuannya tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan pola pikir dan perilaku seperti ini sering kita temukan dalam kehidupan remaja yang tinggal didaerah perkotaan atau lebih tepatnya kota metropolitan. Karena pada kota metropolitan memiliki tingkat keberagaman masyarakat atau heterogenitas yang sangat tinggi. Mereka berasal dari berbagai kebudayaan yang berbeda dan pastinya telah memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri dan telah menjadi pola pikir dan perilaku mereka. Namun kebudayaan tersebut nantinya juga akan mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk meniru pola pikir dan perilaku yang menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa merupakan trend gaya hidup yang terbaru. Sehingga pola pikir dan perilaku tentang trend gaya hidup akan berkembang sangat cepat mempengaruhi didalam kehidupan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan khususunya masyarakat yang tinggaldi kota metropolitan. Kesimpulan Dari beberapa aspek yang saya ambil contoh untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat jawa tersebut,dapat disimpulkan bahwa Perubahan Sosial adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang berbeda yang menghasilkan pola kehidupan yang kurang serasi dan kurang seimbang. Suatu proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat khususnya masyarakat jawa terdapat berbagai faktor yang mendorong jalannya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain Kontak dengan kebudayaan lain. Sistem Pendidikan Formal yang maju Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang Penduduk yang heterogen Sistem terbuka yang memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. kemajuan IPTEK DAFTAR PUSTAKA Sosrodihardjo Soedjito. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta Bhratara Karya Aksara Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Satu Pengantar. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
PELAKSANAANPENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH ADAT MENJADI TANAH MILIK NEGARA A. Pelaksanaan Hak-Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat Di Daerah Ternate Berdasarkan penguasaannya maka menurut hukum adat di daerah kesultanan Ternate terdapat 5 jenis hak atas tanah yaitu: 1. Aha Kolano47 Aha berasal dari kata Kaha yang berarti tanah. Land and property can be owned in different ways, and by more than one person. When you buy a property, make sure you determine the type of ownership that will be stated in the land ownership is when land and property is owned by one ownershipWhen property is owned by two or more people, the ownership will be eithertenants in commonjoint tenancyThere are important legal differences between these two types of in commonThis type of joint ownership is often used where the buyers of the property are known to each other and they have pooled their funds to purchase the in commonhold a share of the property based on each person’s contributioncan request a separate certificate of title for each share of the property. This allows for the owner to outline in their will who will inherit their property tenantsThis type of joint ownership is commonly used by couples. When one owner dies, their partner becomes the owner of their interest in a tenants havean equal interest in the whole of the propertyone certificate of title is issued. Get a copy of your titleRequesting a copy of a certificate of title is called a 'Register search' on the South Australian Integrated Land Information System SAILIS.A certificate of title is an official record of land ownership. You might need this certificate for things such as development applications or applying for council approval for an addition to your property. Page last updated 22 June 2022 Provided by Department for Trade and Investment URL Copyright statement is licensed under a Creative Commons Attribution Licence. © Copyright 2023
Pelapisansosial masyarakat pertanian di luar Jawa, seperti di pedalam Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Papua juga memiliki criteria berbeda dengan petani di Pulau Jawa. Hal inui disebabkan oleh kondisi lahan pertanian di luar Jawa yang masih luas. Akibatnya, maslah pemilikan tanah pun tidak terlalu dominant.
The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 159 Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870 Periode Awal Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa Masyrullahushomad1 Sudrajat1 1Afiliasi Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Jalan Colombo No. 1 Yogyakarta 55281, Indonesia Shomadsejarah2013 sudrajat Received 25 June 2019; Received in revised form 20 July 2019; Accepted 24 August 2019 Abstrak Perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut dengan fase perkebunan negara 1830-1870. Sedangkan, fase kedua adalah fase perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria. Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Kata KunciAgrarische Wet 1870, swasta, perkebunan. Abstract The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Keywords 1870 Agrarische Wet, private, plantation. PENDAHULUAN Pasca kerja paksa, sistem politik dan kebijakan pertanahan memasuki babak baru, yakni era ekonomi liberal berlaku di Hindia Belanda. Pada periode ini, perdebatan di parlemen Belanda tentang investasi perkebunan skala luas kemudian menghasilkan Regering Reglement Agrarische Wet 1870. Sistem monopoli pemerintah kolonial selama ini tentang tanah didesak oleh swasta agar pihak swasta diberi ruang untuk melakukan investasi di Hindia Belanda. Hasilnya keluarlah Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria Salim, 2014 18-19. Sekilas, lahirnya Agrarische Wet 1870, seolah memberi kabar gembira kepada rakyat pribumi karena rakyat pribumi akan diberikan hak eigendom. Akan tetapi, Agrarische Wet 1870 hanyalah alasan untuk memuluskan jalan pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Keuntungan yang besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 160 hanya dinikmati oleh para pemodal asing, sementara rakyat pribumi hidupnya semakin merana Anggraini, 2016 45-46. Sejak diberlakukannya Agrarische Wet 1870, pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara Eropa lainnya mendapatkan jumlah keuntungan yang luar biasa dengan berlandaskan pada colonial super profit. Istilah ini mengacu pada kondisi akumulasi modal luar biasa dari investasi modal asing yang mendapatkan tenaga kerja dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Di samping itu, pihak pemodal tidak perlu menanggung beban pembangunan infrastruktur seperti fasilitas transportasi dan komunikasi. Semuanya dibiayai oleh pemerintah yang diambil dari pungutan pajak oleh pemerintah terhadap penduduk negeri jajahan Achdian, 200820. Pemberlakukan Agrarische Wet 1870 selama lebih dari 70 tahun 1870-1942, menjadi landasan legal-politis pemerintah kolonial Belanda dalam memfasilitasi perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa dengan hakerfpachtrecht selama 75 tahun Rachman, 2012 15. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan pasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Beberapa komoditi utama perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, kareta, kina, dan kelapa. Sedangkan, di luar Pulau Jawa adalah karet, kelapa sawit, dan tembakau merupakan produk utamanya khususnya di Sumatera. Dalam periode ini, komoditi gula mulai menggantikan kedudukan kopi sebagai primadona produk unggulan yang diproduksi di Pulau Jawa. Berdasarkan analisis tersebut, maka artikel ini akan membahas sejarah lahirnya Agrarische Wet 1870 dan hubungannya dengan swastanisasi perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. METODE Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap, yakni heuristik heuristik, kritik sumber verifikasi, interpretasi oufassung, dan historiografi darstellung Abdurrahman, 2011 104. Sumber-sumber dalam kajian ini menggunakan data-data sekunder yang relevan dengan objek pembahasan. Sumber sekunder adalah dokumen yang menguraikan atau membicarakan sumber primer. Katagori sumber sekunder adalah monografi, buku-buku pelajaran, hasil kongres, makalah, prasaran, dan lain-lain Marzuki, 2014 36. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa perpustakaan, google book, dan jurnal- HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 161 jurnal resmi yang bisa diakses di internet. PEMBAHASAN LAHIRNYA AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan di Indonesia telah hadir sejak era pendudukan kolonial Hindia Belanda. Keberadaan perkebunan kolonial tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Indonesia pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca 1870. Pada sistem yang pertama pemerintah lebih banyak menggunakan otoritasnya high authority untuk membeli berbagai komoditi yang diperlukan dan tidak jarang dengan cara-cara paksa. Selanjutnya, pada sistem perkebunan swasta “liberal” terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitan dengan pasar modalnya. Besarnya aliran investasi yang bebas dan luas menurut catatan Gordon telah menempatkan Belanda sebagai negara investor terbesar nomor 3 tiga di dunia yang sebagian besar investasinya ditanamkan di Hindia Belanda. Liberalisasi perkebunan ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan para pemilik modal perkebunan. Seperti yang dikatakan Pelzer bahwa karena ketergantungan pemerintah Belanda terhadap perkebunan sebagai sumber devisa utama. Menyebabkan Pemerintah Belanda terpaksa menyerah terhadap tuntutan pihak pemilik modal perkebunan Tim Riset Sistematis STPN, 2010 50. Upaya untuk melakukan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda sebenarnya telah berlangsung sejak masa pemerintahan Menteri Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun 1865, Menteri Jajahan Frans van de Putte seorang liberal mengajukan sebuah Rencana Undang-Undang RUU yang menyatakan bahwa 1. Gubernur Jenderal akan memberikan hal erfpacht hak guna usaha selama 99 tahun, 2 Hak milik pribumi akan diakui sebagai hak mutlak eigendom, dan 3 Tanah komunal dijadikan hak milik perorangan sebagai hak mutlak eigendom. Ternyata RUU ini ditolak oleh parleman bahkan ditentang keras oleh sesama golongan liberal sendiri dengan tokoh utamanya Thorbecke. Tidak hanya itu, Menteri Jajahan Frans van de Putte akhirnya dijatuhkan dari jabatannya karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menamkan modal di bidang pertanian di Hindia Belanda belum tercapai Wiradi, 2000 126-127. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 162 Setelah jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte dari tampuk jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Pada tahun 1866/1867, pemerintah jajahan mengadakan penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 dengan judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op de Grond biasa disingkat Eindresume. Ternyata pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian ini. Pada tahun 1870, Menteri Jajahan de Waal mengajukan RUU ke parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian ditambah 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, sehingga menjadi 8 ayat, di mana satu diantaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun bukan lagi 99 tahun seperti dalam RUU van de Putte yang sebelumnya ditolak Parlemen. Pasal 62 RR dengan 8 ayat ini kemudian menjadi Indische Staatsregeling IS yang diundangkan dalam Lembaran Negara Staatsblad No. 188 tahun 1870. Ketentuan-ketentuan tersebut dalam pelaksanaannya diatur dengan berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 118 tahun 1870. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit inilah yang memuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak eigendom adalah domain negara domain negara maksudnya milik negara”. Agrarisch Besluit 1870 inilah menjadi tonggak penting swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda Wiradi, 2000 126-127. Undang-undang Agraria yang lahir pada 9 April 1870 yang menjadi pasal 51 dari Wet op de Indische Staatsregeling, isinya sebagai berikut 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah, 2. Larangan itu tidak mengenai tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan dan bangunan, 3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah yang diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia atau dipergunakan untuk tempat menggembala ternak bagi umum atau yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya, 4. Dengan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 163 pakai turun-temurun untuk selama-lamanya 75 tahun, 5. Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia, 6. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri, atau untuk keperluan lain kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; semuanya itu dengan pemberian ganti rugi yang layak, 7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat-syarat dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang, dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu, yaitu mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, dan juga tentang hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia, 8. Persewaan tanah oleh rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut undang-undang. Seterusnya dalam undang-undang itu termasuk juga hak-hak baru atas tanah, di antaranya disebutkan 1. Pemberian hak erfpacht atas tanah yang berupa hutan belukar; 2. Perlindungan hak rakyat Indonesia atas tanah; 3. Membuka kemungkinan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak yang lebih kuat atas tanahnya; 4. Persewaan tanah oleh bangsa Indonesia kepada bangsa asing. Maksud yang terkandung dalam undang-undang itu menyatakan 1. Menjamin kepentingan modal besar partikeliryang akan menanamkan modalnya di lapangan pertanian dan perkebunan dengan memberi kesempatan kepada modal besar partikelir untuk mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan perkembangannya, 2. Melindungi hak milik rakyat atas tanah sebagai golongan yang lemah dari akibat no. 1 di atas, dengan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak agraris eigendom atas tanahnya sebagai hak yang lebih kuat, serta perlindungan dengan Undang-undang agar jangan sampai tanahnya itu gampang jatuh ke tangan orang asing. Isi dua maksud dari Undang-undang di atas sangat bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Dari dua maksud tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu harus mengorbankan salah satu di antaranya. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 164 Keduanya merupakan pilihan yang cukup sulit, ibaratnya memelihara harimau dan kambing dalam satu kandang. Harimau harus gemuk, kambing perlu hidup dan jangan mati Tauchid, 2009 24-26 Salah satu inti perundangan tersebut, Domein Verklaring, merupakan langkah awal yang radikal dalam mengusahakan sentralisasi penguasaan tanah dan sumber daya lain ke tangan negara secara faktual. Ekonomi Belanda saat itu telah siap untuk ekspansi modalnya secara mendiri, tidak lagi diwakilkan pada negara kolonial seperti sebelumnya, di daerah kolonial. Kawasan yang dianggap bebas kepemilikan, terutama daerah dataran tinggi, di definisikan sebagai tanah negara dan dapat disewakan pada swasta selama 75 tahun. Di dataran rendah swasta dapat menyewa tanah dari penduduk. Perkebunan tanaman keras bermunculan, dan kawasan tanam paksa seperti daerah tebu sedikit demi sedikit beralih dari negara ke tangan swasta. Intervensi radikal dari negara kolonial ke dalam sistem penguasaan tanah dan produksi masyarakat sejak awal telah berdampak besar pada kehidupan rakyat di desa maupun kelembagaan pemerintahan pedesaan. Penelitian dari pemerintah Belanda sendiri memperlihatkan peningkatan kemiskinan di antara penduduk desa. Studi-studi dari Boeke yang melontarkan pengertian ekonomi dualistik dan statik expansion lepas dari penilaian terhadap pengertian-pengertian di atas mengindikasikan kemandekan ekonomi rakyat. Demikian pun konsep involusi pertanian dari Geertz mengindikasikan berkurangnya tanah bagi petani dan pemiskinan. Daya jangkau dan teknologi saat itu tidak memungkinkan negara kolonial dan pemodal besarnya saat itu cepat berekspansi keseluruh kawasan Indonesia. Hanya beberapa enklave, seperti Sumatera Timur/Deli, menyaksikan ekspansi kapital dalam bentuk perkebunan-perkebunan tembakau dan berakibat pada penggusuran tanah-tanah penduduk diprakarsai oleh penguasa pribumi yang mempunyai kepentingan sama dengan pekebun-pekebun asing. Di segi lain, ekspansi negara kolonial ini berdampak pada kebutuhan sistem pemerintahan yang langsung. Terutama di Jawa, pemerintahan desa berkembang menjadi bagian integral dari pemerintah pusat kolonial, mengabdi dan loyal pada kepentingan pemerintahan pusat kolonial dan modal besar Shohibuddin, 2012 45-46. Vollenhoven 2013 166-167 menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Agrarische Wet 1870 dituangkan rinciannya dalam keputusan-keputusan agraria atau Agrarisch Besluit yang hanya berlaku di Jawa dan Madura. HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 165 Inti dari Agrarisch Besluit dijabarkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan produk-produk selanjutnya berisi perubahan berbagai pasal dari Staatsblad 1870 No. 118 itu. Yang termasuk keputusan agrarian adalah Statasblad 1870 No. 118 Staatsblad 1872 No. 116 Staatsblad 1874 No. 78 Staatsblad 1877 No. 196 dan 270 Statasblad 1888 No. 78 Staatsblad 1893 No. 151 Staatsblad 1893 No. 199 Staatsblad 1896 No. 140 Staatsblad 1904 No. 325 Staatsblad 1910 No. 185 Staatsblad 1912 No. 235 Staatsblad 1916 No. 647 dan 683 Staatsblad 1926 No. 321 Staatsblad 1935 No. 118 jo Staatsblad1937 No. 339 Domeinverklaring dinyatakan dalam Agrarische Besluit Staatsblad 1870 No. 118 dan berlaku untuk Jawa dan Madura. Untuk wilayah di luar Jawa dan Madura secara umum, domeinverklaring dinyatakan dalam Staatsblad 1875 No. 199a. Dan untuk wilayah-wilayah khusus, adalah sebagai berikut Sumatra Staatsblad 1874 No. 94f Manado Staatsblad 1877 No. 55 Kalimantan Selatan/Timur Staatsblad 1888 No. 58 DAMPAK DARI DIBERLAKUKANNYA AGRARISCHE WET 1870 Pada era ini, semua tanah tak bertuan atau tanah kosong dikuasai oleh negara, sehingga negara bertindak sebagai dominum pemilik tanah. Hal ini dimungkinkan supaya negara dapat menjual hak penguasaan tanah kepada swasta. Ketentuan ini dituangkan di dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870 yang mengatur mengenai asas domein verklaring, dengan ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapatdibuktikan dengan hak eigendom-nya adalah domein negara Wodowati, 2014 15. Bertolak dari kepentingan politik keagrariaan Belanda di Hindia Belanda, maka negara harus dijadikan pemilik tanah tertinggi. Dasar pemikirannya adalah karena daerah jajahan telah ditaklukkan secara militer sehingga menjadi daerah taklukkan’ gekongcuesteert gebied maka tanahnya pun menjadi tanah taklukkan’ agri limitati-Lat.. Berdasarkan kenyataan itu, negara bisa menjadi pemilik tanah tertinggi atas tanah taklukkan’. Dasar hukumnya untuk daerah jajahan, kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarische Besluit 1870 yang merupakan penjelasannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria 1870. Dalam Pasal 1 Agrarische Wet 1870 itu ditegaskan bahwa seluruh tanah adalah milik negara Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 166 landsdomein, kecuali dapat dibuktikan dengan bukti hak milik eigendom’ berdasarkan Pasal 570 KUHPInd. Dengan demikian, struktur kepemilikan tanah di daerah jajahan yang diteruskan oleh pemerintahan negara Hindia Belanda adalah hanya mengenal dua subjek hukum pemegang hak milik eigendom’ atas tanah yaitu negara dan orang sebagai pribadi hukum, seperti tampak dalam Diagram No. 3 berikut. Diagram Struktur pemilikan hak milik eigendom’ di Hindia Belanda Sumber Abstraksi Herman Soesangobeng dari BW/KUHPInd. dan Agrarische Wet 1870. Diagram no. 3 ini menjelaskan bahwa hak milik tanah yang sah secara hukum hanyalah hak eigendom yang diatur dalam asal 570 BW/KUHPdt. Demikian pula subjek pemegang haknya pun hanya warga negara Belanda dan orang Eropa yang tunduk pada hukum sipil Belanda BW/KUHPdt.. Negara sebagai subjek hukum baik dalam arti corpus comitatus’ maupun corpus corporatum’ adalah pemilik tertinggi’ het hoogste eigenar atas seluruh tanah dalam wilayah Negara. Konsep kepemilikan tertinggi ini pada sistem hukum komon common law system di Amerika disebut right of eminent domein’. Dengan ketentuan ini maka pemerintah Hindia Belanda berhak dengan bebas mengambil kembali tanah miliknya yang dikuasai penduduk Bumiputra. Bila diperlukannya baik untuk keperluan negara maupun untuk diberikan kepada pengusaha swasta Belanda bagi pengembangan usaha pertanian atau perkebunan. Karena sebelum VOC sampai terbentuknya pemerintahan Negara Belanda sudah ada penduduk-penduduk Indonesia yang menduduki dan menguasai tanah berdasarkan Hukum Adat mereka. Maka konsep tanah milik negara itupun lalu dibedakan antara tanah milik negara yang bebas vrij landsdomein dan tanah negara yang tidak bebas onvrij landsdomein. Tanah milik negara bebas adalah tanah-tanah milik negara yang tidak dilekati oleh hak-hak orang Bumiputra dengan hukum adatnya. Sebaliknya tanah negara tidak bebas adalah tanah milik negara yang diduduki dan dikuasai oleh orang Bumiputra berdasarkan hukum adat HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 167 mereka, sehingga hak adat orang Bumiputra masih melekat pada tanah milik negara Soesangobeng, 2012 87-89. Politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang mempunyai pengaruh besar pada eksistensi tanah ulayat adalah diundangkannya Agrarisch Wet 1870 Stb. 1870 No. 15527, dengan peraturan pelaksanaannya Agrarisch Besluit 1870, yang memberlakukan asas domein dalam sistem penguasaan tanah. Pasal 1 AB 1870 berbunyi “Behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waaropniet door anderen recht van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein milik negara. Pemberlakuan asas domein merupakan ide kaum kapitalis Belanda untuk mempermudah perolehan erfpacht dan opstal, sebab, menurut KUH Perdata, hanya pemilik eigneaar yang dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada pihak lain. Dalam Agrarisch Wet, pemerintah bukan pemilik tanah sehingga berdasarkan asas domein, negara adalah pemilik semua tanah kecuali yang bisa dibuktikan sebagai eigendom dan agrarische eigendom”. Domein Verklaring mengakibatkan tersubordinasinya sistem hukum asli Indonesia. Kata eigendom dalam Pasal 1 AB 1870 tersebut menimbulkan 3 tiga interpretasi Pertama, tanah eigendom dapat diartikan menjadi tanah yang dalam hukum perdata disebut sebagai hak kepemilikan eigendom dan agrarisch eigendom. Kedua, karena eigendom dapat diterjemahkan sebagai kepemilikan, ini dapat berarti tanah dalam segala bentuk kepemilikan pribadi, termasuk hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan, tetapi tidak termasuk hak kepemilikan komunal masyarakat adat yang disebut hak ulayat. Ketiga, ini dapat mencakup hak kepemilikan dalam hukum perdata dan hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan termasuk hak ulayat. Pada praktiknya, interpretasi pertama yang dipakai Sembiring, 2018 88-90. KAKAKTERISTIK PERKEBUNAN SWASTA BERDASARKAN AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan besar mulai hadir di Indonesia sebagai akibat politik liberal pemerintah kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula Suiker Wet 1870 menjadi landasan mulai dibukanya perkebunan swasta di Pulau Jawa. Dibukanya Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 168 perkebunan swasta menandai dimulainya kebijakan kolonial yakni dimulainya periode liberal 1870-1900. Sebelumnya monopoli pemerintah terhadap tanaman ekspor secara bertahap dihapuskan sejak 1860-an. Pertama kebijakan ini diberlakukan terhadap tanaman yang tidak menguntungkan dan terakhir tebu akhirnya berakhir pada 1890 serta kopi daerah terakhir yang menerapkan tanam paksa kopi baru ditutup pada 1919. Periode liberal bertepatan dengan ekspansi kekuasaan Belanda di luar Jawa. Eksploitasi perdagangan di pulau-pulau lainnya berlangsung selama abad ke-20. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19 produk-produk dari pulau-pulau di luar Pulau Jawa sudah masuk dalam kalkulasi perdagangan Belanda Ricklefs dkk, 2013 335-336 ; Kahin, 2013 16-17. Karakteristik sistem produksi perkebunan swasta pada masa ini umumnya mempunyai empat atribut yang melekat padanya, yaitu pertama, berorientasi ekspor dalam skala besar; kedua, kebutuhan tenaga kerja sangat besar dibanding dengan yang dapat tersedia oleh pasar tenaga kerja domestik yang bebas; ketiga, diperlukan mekanisme ekstra-pasar pemaksaan oleh aparatur pemerintah guna memenuhi kebutuhan tersebut dan mekanisme ini sangat dominan dalam menentukan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat; dan keempat, tumbuh budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan sosial yang terbentuk itu Wiradi, 2009 60. Selain itu, berbeda dari kebijakan cultuurstelsel yang bertumpu pada dan memanfaatkan sistem desa. Agrarische Wet 1870 sebaliknya hendak melepaskan tanah dari ikatan-ikatan komunalnya pada desa dan membebaskan warga dari kerja wajib kepada desa. Pemerintah kolonial juga mengakui hak milik warga atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik itu kepada orang-orang asing. Namun, tujuan yang lain di balik itu sebenarnya adalah untuk memungkinkan pengusaha partikelir dapat menguasai tanah-tanah di luar tanah negara, yakni tanah-tanah garapan penduduk karena sekaligus akan dapat menguasai tenaga kerjanya. Hal ini dilakukan melalui kontrak sewa tanah kepada para petani pemiliknya dan merekrut mereka sebagai tenaga kerja perkebunan melalui sistem upahan Shohibuddin, 2010 36-37. PERKEMBANGAN PERKEBUNAN SWASTA DI JAWA Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria memberikan kebebasan dan jaminan keamanan kepada para pengusaha investor. Undang-undang ini menekankan pribumilah yang dapat memiliki tanah. Namun, orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 169 pemerintah selama 75 tahun atau dari para pemilik pribumi selama 5 sampai 20 tahun tergantung persyaratan pada hak pemilikan tanah. Perkebunan swasta pasca diberlakukannya Agrarische Wet 1870 dapat berkembang di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan kapal uap sebagian berada di tangan orang-orang Inggris dalam waktu yang kira-kira sama mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan semakin membaiknya sistem perhubungan dengan Eropa Ricklefs, 2008 271. Ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan dan pengusahaan tanaman perdagangan di Hindia Belanda terjadi antara 1870 dan 1920, terutama gula dan tebu di Jawa termasuk juga teh dan kopi dan kemudian karet dan kelapa sawit di Sumatera. Dalam kurun waktu ini, industri pertanian atau perkebunan di Hindia Belanda mengalami perkembangan yang sangat pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I Padmo, 199127. Pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 di Pulau Jawa pemanfaatan lahan dimaksimalkan dengan sebaik mungkin. Daerah dengan demografi dataran tinggi digunakan untuk menanam kopi, teh, kina, dan ketela pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di dataran rendah, perusahaan perkebunan menanam tebu, kakao, dan tembakau Oudejans, 1999 25-26. Perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan di Pulau Jawa adalah perkembangan dalam industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Dalam tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah bahu. Sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat menjadi bahu. Di pihak lain, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari pikul dalam tahun 1870 meningkat menjadi pikul dalam tahun 1900. Demikian pula perkebunan-perkebunan teh mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah perusahaan- Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 170 perusahaan perkebunan mulai ditanam dengan teh Assam. Tanaman ekspor lain yang mengalami kenaikan dalam produksi adalah tembakau. Jauh sebelumnya tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Selama zaman liberalisme, pengusaha-pengusaha Belanda mendirikan pula perkebunan-perkebunan tembakaudi sekitar Basuki Jawa Timur yang kemudian mengalami perkembangan pesat. Perkebunan-perkebunan di Basuki tersebut bekerja sama erat dengan penduduk sekitar yang juga menanam tembakau yang kemudian disortir dan diolah selanjutnya di perkebunan-perkebunan besar. Di samping itu modal dan usaha Belanda mendirikan perkebunan-perkebunan tembakau yang besar di sekitar Deli Sumatera Timur. Tanaman-tanaman dagang lainnya yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang juga mengalami perkembangan pesat adalah kopi dan kina. Selama masa ini Hindia Belanda menjadi penghasil kina paling terkemuka di dunia karena hampir 90% kina yang digunakan di dunia pada waktu itu berasal dari perkebunan-perkebunan kina di Jawa. Di pihak lain, kopi tidak mengalami perkembangan begitu pesat selama seperti selama sistem tanam paksa berlaku Poesponegoro, 2008 377. Daerah-daerah utama penghasil gula di Pulau Jawa ada di Pantai Utara Jawa yang memiliki sistem pengairan sawah yang sangat baik, yaitu antara Keresidenan Cirebon sampai Semarang, kemudian di Selatan Gunung Muria hingga Juwana. Kemudian daerah kesultanan varstenlanden termasuk produsen gula yang baik pula. Menyusul setelah itu keresidenan Madiun, Kediri, dan Basuki di Jawa Timur. Selain itu, wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan daerah-daerah Surabaya hingga Jombang di Pantai Utara Jawa juga termasuk produsen gula utama Jawa Leirissa, 2012 65. Adapun perkembangan ekspor Hindia Belanda tahun 1874-1914 dapat dilihat pada Tabel Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa terjadi perkembangan luar biasa ekspor Hindia Belanda pada periode tahun 1874-1914. Sebagai suatu catatan, perlu diingat bahwa setelah 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan seret diakibatkan jatuhnya harga gula dan kopi di pasaran internasional. Jatuhnya harga gula di pasar dunia diakibatkan di Eropa mulai dilakukan penanaman gula bit beet sugar sehingga mereka tidak perlu lagi mengimpor dari Hindia Belanda. Pada tahun 1891 harga tembakau di pasar internasional juga jatuh sehingga mengancam kelangsungan hidup HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 171 perkebunan-perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Tabel Ekspor Hindia Belanda, 1874-1914 dalam jutaan Gulden Gula Kopi Teh Rempah-Rempah Tembakau Kopra Timah Minyak Bumi Karet Asal Jawa+Madura Luar Jawa Hindia Belanda 50 68 3 6 11 0 5 0 0 144 25 169 183 23 27 14 64 61 41 137 27 360 324 685 +266 -66 +800 +133 +482 + 720 ++ ++ +150 + +305 Sumber Van Zanden & Marks 2012, h. 85 dalam Boediono 2016 53 Krisis perdagangan tahun 1885 juga ikut memukul bank-bank perkebunan cultur banken yang meminjamkan uang ke berbagai perusahaan perkebunan. Akibat jatuhnya usaha perkebunan, maka secara otomatis ikut jatuh pula bank-bank perkebunan. Selain itu, krisis perdagangan pada tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan. Akan tetapi, direorganisasi menjadi perseroan-perseroan terbatas. Pemimpin perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langung tetapi oleh seorang manajer. Artinya seorang yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham. Begitu juga dengan bank perkebunan cultur banken juga tetap melanjutkan usahanya sebagai pemberi kredit kepada perkebunan-perkebunan. Namun, setelah krisis 1885 mereka pun juga mengadakan pengawasan atas operasi perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pada akhir abad ke-21 terjadi perkembangan baru dalam kehidupan ekonomi di Hindia Belanda. Sistem liberal murni dengan persaingan bebas mulai ditinggalkan dan digantikan dengan suatu tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan sosial-ekonomi Hindia Belanda khususnya di Jawa mulai dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan finansial dan industrial di negeri Belanda. Kewenangan-kewenangan tidak lagi diberikan kepada pemimpin perkebunan-perkebunan besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 172 yang berkedudukan di Jawa Daliman, 2012 52-53. PENUTUP Simpulan Perkembangan sistem perkebunan di Hindia Belanda tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Hindia Belanda pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870. Perkembangan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda mendapatkan momennya sejak diberlakukannya Agrarische Wet Wet 1870 menjadi landasan yuridis-formil masuknya investasi asing dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Pemodal swasta diberikan hak erfpacht hak guna usahaselama 75 tahun oleh pemerintah Belanda untuk membuka lahan perkebunan baru di Hindia Belanda. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunanpasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Khusus di Pulau Jawa, perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan adalah perkembangan pesat industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I. Saran Penelitian mengenai sejarah sosial ekonomi di Indonesia sangat menarik. Banyak sekali objek kajian yang bisa dikaji, terutama mengenai kondisi sosial ekonomi Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda. Salah satunya ialah penelitian ini yang membahas konsep dan dampak penerapan Agrarische Wet 1870 terhadap perkembangan perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Agrarische Wet 1870 inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang utama swastanisasi perkebunan di Indonesia jelas berpengaruh besar terhadap HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 173 perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia khususnya Pulau Jawa pada saat itu dan masa sekarang. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodelogi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta Ombak. Achdian, Andi. 2008. Tanah Bagi yang Tak Bertanah Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin. Bogor Kekal Press. Anggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Mizan. Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda. Yogyakarta Ombak. Kahin, George McTuran. 1952. Nationalism and Revolutin in Indonesia. 2013. Terjemahan oleh Tim Komunitas Bambu. Jakarta Komunitas Bambu. Leirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Ombak. Marzuki, Yas. 2004. Metodelogi Penelitian Sejarah dan Historiografi. Palembang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Oudejans, Jan 1999. Development of Agriculture in Indonesia. 2006. Terjemahan oleh Edhi Martono. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Padmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Media. Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Notosoesanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta Balai Pustaka. Rachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA. Ricklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Semesta. Ricklefs, Merle Calvin dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. Jakarta Komunitas Bambu. Salim, M. Nazir dkk. 2014. Dari Dirjen Agraria Menuju Kementrian Agraria Perjalanan Kelembagaan Agraria, 1948-1965. Yogyakarta STPN Press. Sembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad Ed.. 2012. Pembentukan Kebijakan Reformasi Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad., dan Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. Land Reform Lokal A La Ngandagan Inovasi Sistem Tenurial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Yogyakarta STPN Press. Soesangobeng, Herman. 2012. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori, dan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 174 Tauchid, Muchammad. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta STPN Press. Vollenhoven, Cornelis van. 1923. De Indonesier en Zijn Ground. 2013. Terjemahan oleh Soewargono. Yogyakarta STPN Press. Wiradi, Gunawan. 2000. Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta INSIST Press. Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta STPN Press. Wodowati, Dyah Ayu dkk. 2014. Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan. Yogyakarta STPN Press. Tim Riset Sistematis STPN. 2010. Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadialan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis. Yogyakarta STPN Press. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this ini merupakan hasil studi "revisit" atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi selama periode 1947-1964 dan dampak jangka panjangnya. Di buku ini diuraikan profil kebijakan land reform lokal berbasis inovasi sistem adat sebagai jawaban atas proses diferensiasi agraria yang terjadi di desa ini. Melalui pengalaman pelaksanaan land reform di desa ini kita ditunjukkan inovasi kebijakan yang didasarkan pada kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat yang bertujuan mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan produksi yang adil, sekaligus pada saat yang sama tafsir dan praktik lokal atas kebijakan nasional land reform yang lebih sesuai dengan kondisi dan tuntutan setempat. Hal ini berhasil diwujudkan oleh komunitas desa Ngandagan berkat kepemimpinan lokal yang kuat. Buku ini bukan saja berhasil merekonstruksi sejarah pelaksanaan land reform lokal sekian dekade lalu, tetapi juga memaknainya dalam konteks kekinian. Mohamad ShohibuddinG. WiradiBuku ini menghimpun tulisan-tulisan berserak Gunawan Wiradi mengenai seluk beluk masalah agraria, penelitian agraria dan reforma agraria. Dalam buku ini, Gunawan Wiradi dengan bahasa yang mudah dicerna berhasil menempatkan tantangan Reforma Agraria dalam suatu konteks permasalahan yang dari segi waktu terentang mulai dari masa kolonial hingga era mutakhir, dan dari segi ruang tergelar mulai dari aras mikro seperti desa Ngandagan hingga pata tatanan yang lebih kompleks di aras dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan AgrariaGita AnggrainiAnggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Indonesia Dalam Lintasan SejarahBoedionoBoediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Perekonomian IndonesiaR LeirissaLeirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Kajian Sosial EkonomiSoegijanto PadmoDjatmiko DanPadmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Reform Dari Masa Ke MasaNoer RachmanFauziRachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA.A History of Modern Since c. 1200 Fourth EditionMerle RicklefsCalvinRicklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Pengaturan dan Permasalahan Tanah UlayatJulius SembiringSembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press. bmRM.
  • 3vv76qgg23.pages.dev/109
  • 3vv76qgg23.pages.dev/167
  • 3vv76qgg23.pages.dev/340
  • 3vv76qgg23.pages.dev/164
  • 3vv76qgg23.pages.dev/383
  • 3vv76qgg23.pages.dev/21
  • 3vv76qgg23.pages.dev/34
  • 3vv76qgg23.pages.dev/28
  • 3vv76qgg23.pages.dev/179
  • sistem pemilikan tanah di pulau jawa